Paul Cumming You Never Walk Alone



Nama Paul Cumming mungkin terdengar asing bagi generasi muda Indonesia hari ini. Tapi Paul Cumming adalah nama besar di Indonesia, khususnya dalam dunia sepakbola dekade 80-an.
Di era Galatama, pelatih asal Inggris ini tercatat pernah membesut klub asal Jakarta, Indonesia Muda dari 1981 hingga 1983. Ia juga pernah membawa Perseman Manokwari menjadi juara Divisi I tahun 1983.
Sebagai orang asing yang tinggal puluhan tahun di Indonesia dan kini sudah mengantongi status kewarganegaraan Indonesia, pria 67 tahun ini berbagi cerita tentang rasa cintanya pada Nusantara.
“Malam pun saya mimpi dalam Bahasa Indonesia. Haha,” ujar penggemar Liverpool ini kepada CNN Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (28/10/2014).
Rasa cintanya terhadap Indonesia diakui Paul muncul akibat keindahan alam yang luar biasa yang ada di bumi Indonesia. “Di dunia tidak ada yang menyamai keindahan gunung dan hutan di Indonesia,” tutur pria kelahiran 8 Agustus 1947.
Berangkat dari rasa cinta yang mendalam kepada bumi Indonesia inilah Paul memutuskan untuk pindah kewarganegaraan, meski kemudian ia harus bersabar karena proses panjang yang harus ia lalui.
Tanggal 10 November 1999 menjadi hari bersejarah baginya. Setelah penantian panjang selama 19 tahun, di hari itu ia akhirnya resmi menjadi WNI. Meski sebenarnya ia paham bahwa di Indonesia lazim ada cara instan untuk mendapatkan status WNI, namun dirinya dengan tegas enggan mengambil jalan pintas itu.
“Saya tidak mau, itu tidak sesuai dengan diri saya. Saya tetap ikuti aturan yang ada,” kata Paul Cumming.
Tak seperti sekarang naturalisasi pemain maupun pelatih asing terasa begitu mudah, waktu itu Paul menjelaskan aturan dari pihak imigrasi mewajibkan WNA yang ingin pindah kewarganegaraan harus tinggal selama kurang lebih 15 tahun di Indonesia.
Penantian panjang untuk memperoleh status WNI membuat Paul betul-betul meresapi Indonesia dalam dirinya. Ia mengatakan sangat puas atas perjuangannya selama belasan tahun mengurus proses tersebut.
“Saya orang asing pertama di Bandar Lampung yang jadi WNI,” kata pria 67 tahun yang mengaku takut naik pesawat itu dengan nada bangga.
Paul mengaku sangat terkesan dengan kehangatan yang ia terima dari masyarakat Bandar Lampung kala itu. Paul pun menceritakan bagaimana ia menggelar pesta di pantai bersama dengan warga di hari di mana ia akhirnya sah menjadi WNI.
“Tidak ada motivasi lain mengapa saya mau menjadi WNI, saya cinta Indonesia,” ucapnya. Setelah mendapat status WNI, hari-harinya di Indonesia pun tidaklah semudah yang ia kira. Tahun 1998 ia dipecat dari Perserikatan Sepakbola Bandar Lampung (PSBL), tempat ia melatih sejak tahun 1991, akibat krisis moneter yang berimbas buruk pada keuangan klub.
Paul harus menyambung hidup dengan membuka usaha persewaan perahu. Ia harus bertahan dari teror yang dilakukan oleh preman-preman setempat. Malahan pada 2001, Paul menceritakan ia pernah ditusuk oleh preman bersenjata tanpa alasan yang jelas.
Meski berkali-kali menelan pil pahit, hal itu tidak menurunkan kecintaannya pada Indonesia. Ia selalu memandang apa yang dialaminya dengan positif.
“Saya yakin di Indonesia banyak orang baik, saya hanya berpikir orang Indonesia itu jujur dan ramah. Itu yang membuat saya tetap bertahan sampai hari ini,” kata Paul.
Saat ini Paul menghabiskan masa tuanya bersama sang istri di rumah kecil di kaki Gunung Semeru. Sehari-hari ia menyambung hidup dengan membuka usaha persewaan game di rumahnya. “Kadang satu hari hanya dapat lima ribu, kadang tiga puluh ribu,” ucapnya tanpa nada mengeluh.
Meski hasilnya tak menentu, Paul sangat menikmati hidupnya di Indonesia dan enggan untuk kembali lagi ke negeri asalnya. Sesekali, Paul juga masih mengikuti perkembangan berita sepakbola Indonesia dari koran yang ia baca.
“Saya betul-betul sangat cinta dengan Indonesia,” ujar Paul yang dua minggu lalu baru saja menjalani operasi kanker untuk kedua kalinya, menutup perbincangan di hari itu.


Paul Cumming: Mimpi Itu Terwujud
Lagu The Fields of Anfield Road sampai ia salin sendiri di sebuah buku kecil. Catatan itu ia bawa ke Senayan ketika tim pujaannya, Liverpool FC, bermain di Stadion Gelora Bung Karno akhir pekan lalu.
“Hari ini adalah hari kebanggaan untuk saya. Nonton Liverpool di GBK adalah Dream Come True. Salam untuk semua penggemar bola di Tanah Air,” demikian Paul Cumming bertutur melalui akun twitter-nya, @papuansoccer, di hotel sebelum berangkat ke stadion Sabtu (20/7/2013) siang.
Usianya yang hampir 66 tahun, ditambah kondisinya yang kerap sakit dalam satu tahun terakhir, termasuk kanker kulit kepala yang menyerangnya baru-baru ini, membuat gerak-gerik Paul melambat, seperti juga intonasi suaranya yang rendah, sehingga sesekali kami harus merapat untuk bisa mendengarnya lebih jelas.
Selama mendampingi Paul, kami jarang mendapatinya tertawa dengan suara keras apalagi sampai terbahak-bahak. Jika ada hal lucu, ia akan tersenyum lebar atau cukup terkekeh-kekeh — tapi itu sudah menunjukkan keceriaan di wajahnya.
“Saya malu kalau tertawa lebar di depan orang banyak. Soalnya gigi sudah tak ada,” seloroh pelatih legendaris yang pernah melatih sejumlah tim Indonesia selama hampir tiga dawasarwa itu.
Walaupun suaranya rendah dan terlihat sebagai seorang lelaki tua yang pendiam, Paul sesungguhnya memiliki selera humor yang mengasyikkan. Ia bisa tiba-tiba menceletukkan sesuatu yang membuat kami “kaget” dan tertawa. Suatu ketika, misalnya, ia cukup sibuk menerima panggilan via telepon selulernya. Pada sebuah deringan berikutnya, Paul menerimanya sambil berdiri dan berucap, “Halo? Steven Gerrard?”
Paul juga tipikal “bapak-bapak yang kalau sudah bercerita susah dihentikan”. Sewaktu kami membawanya bersantap malam di sebuah restoran India di Jalan Jaksa — ia kepingin sekali bernostalgia ke tempat itu — ia menghibur kami dengan kisah-kisah hidupnya yang beraneka warna.
Sebelumnya, pada Jumat siang ia kami ajak mengikuti acara Liverpool yang diadakan oleh Standard Chartered di Plaza Senayan. Kepada dia kami menjelaskan, sesi itu adalah penandatangan kontrak baru bank tersebut dengan The Reds. Ia lalu menimpali, “Wah, saya terlambat kalau begitu. Tadinya saya berharap rental Play Station saya bisa jadi sponsor Liverpool.”
Paul, yang pernah terkenal saat menangani Persiraja Banda Aceh, Perseman Manokwari, PSBL Lampung dan tim PON Papua Barat, saat ini tinggal di Dusun Drigu, Poncokusuma, Kabupaten Malang, dengan pemandangan Gunung Semeru yang gagah perkasa. Di rumahnya yang sederhana, yang ia diami bersama sang istri, sehari-harinya ia menyewakan Play Station untuk anak-anak di kampung, dengan tarif Rp 2.000 per jam.
Ketika diundang sebuah situs online untuk menonton pertandingan Liverpool melawan timnas Indonesia, ia tampak betul mempersiapkannya dengan antusias. Bahkan ia sudah berbaju The Reds saat meninggalkan rumahnya menuju stasiun Malang, untuk berangkat ke ibukota dengan kereta api. Di sana ia sempat dilepas oleh Big Reds Malang, dan juga sang istri yang menyempatkan diri meninggalkan sejenak tugasnya sebagai guru di sebuah SMA negeri di kota tersebut.

“Sampai ketemu di Sektor 9-11. Saya nonton dengan teman2 di tribun @BIGREDS_IOLSC YNWA,” Paul melanjutkan tweet-nya di perjalanan menuju Senayan.



Mengenakan satu-satunya jersey Liverpool yang ia bawa dari Malang, Paul berdandan seperti suporter fanatik. Ia menutupi kepalanya dengan topi merah, serta membawa syal dan bendera tim kesayangannya itu. Hujan yang menyambut kehadirannya kembali ke GBK tak menyurutkan semangatnya untuk menyaksikan aksi Gerrard dkk.
Sesampainya di GBK, banyak orang mengenali dirinya. Mereka silih berganti menyapa dan meminta foto bareng, dan tidak satu pun ditolak Paul. Sejumlah fans remaja mencium tangannya, layaknya “cucu kepada kakeknya”. Mereka mengucapkan doa-doa untuk kesehatan Paul.
Jam 5 sore kami tiba di Gate V, di antara ratusan orang yang mulai mengular di depan pintu masuk yang belum dibuka. BIG REDS secara khusus menyediakan tempat untuk Paul, tapi dia sendiri yang minta menonton bersama-sama suporter Liverpool, dan bukannya memilih di tribun VIP.
Paul diberi keistimewaan masuk lebih dulu dibanding ratusan fans di belakangnya, bersama Alief Ryanda (20), seorang suporter “edan” yang mencoba ke Jakarta dengan bersepeda motor dari Aceh, tapi mengalami kecelakaan di Labuhan Batu, Sumatera Utara. Kakinya patah, tersenggol truk. Demi tim kecintaannya, Alief tetap berangkat ke Jakarta, terbang dari Medan.
Setelah melewati pintu masuk, Alief lebih dulu harus menaiki tangga yang cukup tinggi menuju sektor penonton. Dibantu dua orang, ia bangkit dari kursi roda, meniti anak tangga satu per satu. Para Big Reds di luar memberinya dukungan moral dengan menyanyikan chant-chant untuk dirinya. Alief sempat terisak terharu dengan dukungan luar biasa itu.
Itu pula yang dilakukan Big Reds saat Paul perlahan-lahan menaiki tangga yang sama. Mereka menggemakan koor “Paul, Paul, Paul”, setiap kali dia melangkahkan kakinya. Setelah anak tangga terakhir dijejaki, Paul membalikkan badannya, melambaikan tangan kepada para suporter, yang kemudian riuh bertepuk tangan. Mata Paul berkaca-kaca. “Belum pernah saya mendapatkan yang seperti ini,” ucapnya lirih.
Dan Paul akhirnya dapat mewujudkan keinginannya menonton pertandingan Liverpool. Ia ada di sana, di stadion utama negeri yang sangat ia cintai ini, di antara lautan manusia beratribut merah, dalam atmosfer yang penuh sensasi, ketika chant-chant dan lagu You’ll Never Walk Alone tak henti-hentinya dikumandangkan suporter, seakan-akan GBK adalah Anfield.
“Selagi masih hidup, harus bisa nonton Liverpool. Dan akhirnya mimpi saya terwujud. Walaupun tidak bisa bertemu pemain langsung, tapi saya bisa menyaksikan mereka di Senayan. Saya sangat terharu. Terima kasih untuk semua yang telah memberikan dukungan. Saya takkan pernah melupakan pengalaman yang luar biasa ini,” ucap Paul kepada kami.
Meninggalkan GBK malam itu, Paul masih saja dihampiri orang-orang yang ingin menyapa dan berfoto bersama. Dan lagi-lagi, walaupun keletihan sudah melanda, ia tetap melayani permintaan mereka dengan ramah.
Tak terasa, kami baru sampai hotel lagi pukul 1 dinihari. Paul masih sempat menonton televisi untuk mencari pemberitaan seputar pertandingan tadi. Ia sampai tertidur di sofa, sebelum kami bangunkan supaya pindah ke tempat tidur.
Minggu (21/7) siang Paul dijemput oleh Balafans, kelompok suporter Lampung , yang ingin membawanya “pulang ke kampung halaman” — Paul pernah tujuh tahun tinggal di Lampung saat melatih PSBL (1991-1998).
Selain dengan suporter, kerabat lamanya di Lampung dan media, Paul juga dipertemukan dengan sejumlah pejabat teras setempat, termasuk Gubernur Sjachroedin ZP. Selain bersilaturahmi, mereka juga memberikan bantuan materil untuk membantu meringankan biaya operasi yang akan dijalani Paul sekembalinya ke Malang nanti.
“Tolong detiksport sampaikan terima kasih saya kepada semua orang yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materil kepada saya. Saya tidak menyangka, saya terharu sekali membaca komentar dan tweet mereka. Doakan pula semoga operasi saya nanti berjalan lancar,” ujar Paul tadi malam.





Surat Terbuka dari Paul Cumming
Pelatih legendaris Paul Cumming kini dalam masa pemulihan setelah operasi kanker di kulit kepalanya berjalan dengan baik. Ia menuliskan sesuatu untuk segenap pembaca detiksport dan fans Indonesia.
Berikut ini surat elektronik yang dikirimkan Paul kepada redaksi detiksport:
Kepada pembaca detiksport dan detikcom yang sangat saya hargai, salam hangat dari lereng Semeru.
Saya sekarang mulai pulih sehabis operasi di empat titik untuk basalioma (kanker kulit ganas di bagian kepala), yang saya idap.
Dua bulan yang lalu saya sangat bingung. Kanker ganas itu harus dioperasi, sedangkan saya tidak memiliki cukup biaya.
Kemudian, sesudah ada berita di detiksport, dan didukung pula Coach Timo Scheunemann, reaksi dari masyarakat sangat luar biasa. Saya mendapat banyak sekali pesan SMS maupun melalui akun twitter saya, yang isinya dukungan moril dan doa-doa untuk kesehatan saya.
Atas kepeduliannya, berkat doa dan bantuan finansial saudara-saudara sekalian, pada tanggal 14 Agustus operasi selama 3 jam dilakukan di RS Panti Nirmala, Malang. Saya dibolehkan pulang pada tanggal 17 Agustus, tepat di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, untuk rawat jalan
Dengan ini saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya untuk semua dukungan dari semua fans di tanah air, dan juga pembaca detiksport. Tak lupa kepada suporter Lampung, BalaFans, sehingga saya bisa kembali mengunjungi salah satu daerah di Indonesia yang sangat saya cintai itu. Terima kasih pula kepada Bapak-Bapak pejabat di sana yang telah memberi bantuannya kepada saya.
Saya sungguh terharu dan tidak tahu dengan cara apa membalas semua kebaikan Saudara-saudara sekalian, kecuali semoga Tuhan membalas dengan segala kebaikan pula.
Dengan ini pula izinkan saya untuk mengatakan, betapa saya sangat berbahagia bisa mewujudkan Salah satu mimpi saya beberapa waktu lalu, yaitu menonton langsung pertandingan klub favorit saya, Liverpool FC, melawan timnas Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno.
Pengalaman yang saya dapatkan di sana sungguh luar biasa. Saya bertemu dengan banyak orang, saya merasa sangat dihormati. Saya sangat respek khususnya kepada Big Reds atas apresiasi yang ditunjukkan kepada saya di GBK. Tidak pernah saya membayangkan sebelumnya, telinga saya mendengarkan mereka bernyanyi “There’s Only One Paul Cumming”. Juga ketika saya menaiki tangga stadion, mereka terus memberi semangat pada saya. Saya benar-benar terharu.

Sekali lagi, terima kasih. God Bless You all. God Bless Indonesia yang sangat saya cintai.
23 Agustus 2013,
Desa Drigu, Poncokusomo, Malang
Paul Cumming
@papuansoccer
You’ll Never Walk Alone, Coach.





Sumber:

https://yudiweb.wordpress.com/2014/10/28/paul-cumming-cintanya-yang-mendalam-kepada-bumi-indonesia/ 
https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/2339405/surat-terbuka-dari-paul-cumming/2
http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20141028135105-269-8498/setia-pada-indonesia-hingga-usia-senja/
https://sport.detik.com/aboutthegame/detik-insider/d-2311192/paul-cumming-mimpi-itu-terwujud







No comments

Powered by Blogger.