Perjalanan,Persahabatan dan Kopi

by 10:58




Salah satu masalah utama generasi millenial, terutama di era digital adalah mereka kerap terjebak dalam problem eksistensialis. Mengutip filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre yang mengatakan, “human is condemned to be free”– “Manusia dikutuk untuk bebas mengekspresikan dirinya”. Manusia terjebak pada keinginan harus eksis dan dituntut bebas.
Masalah benar atau salah, prosedural atau substansi adalah urusan lain, sebab yang terpenting adalah kebenaran yang bersifat relatif tidak mutlak. Masalah eksistensi ini, bahkan sudah menyatu dalam kehidupan generasi anak-anak muda millenial.
Terutama soal tempat nongkrong. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang dan Makassar kini sudah mulai dijamuri usaha kedai kopi. Di daerah pinggiran tak kalah, semarak usaha kedai-kedai kopi juga sudah mulai memiliki pangsa pasarnya sendiri.
Meski kadang hanya sebatas pamflet usaha yang tidak seutuhnya menjual kopi, nyatanya brand kedai kopi sudah tak terpisahkan dengan gaya hidup generasi millenial.

Saya teringat saat kali pertama tinggal di kota, usai merampungkan pendidikan SMA. Saya melanjutkan studi pada salah satu universitas di kota Medan. Saat itu, setiap jeda perkuliahan atau sepulang kuliah kerap mengunjungi kedai-kedai kopi untuk menyelesaikan tugas kuliah atau sekadar nongkrong dengan teman-teman.
Jujur, kala itu, saya tak pernah memesan kopi, karena saya memang tidak terlalu menyukainya. Saya lebih suka memesan jenis minuman macam juice, teh manis dingin (ice tea) atau minuman bersoda. Tapi bagi saya, yang paling penting syarat sebuah kedai kopi layak dikunjungi harus menyediakan wi-fi.
Kondisi ini tak hanya berlaku bagi saya, tapi juga buat anak-anak muda segenerasi yang punya paradigma sama. Bahwa mengunjungi kedai kopi itu hanya soal eksistensi, juga soal terpenuhinya perlengkapan batin generasi millenial yaitu baterai gadget, koneksi dan wi-fi. Persoalan dari mana kopi berasal, siapa petaninya, atau jenisnya (robusta atau arabika) itu urusan lain. Kami bahkan tidak peduli.



Masalah paradigma eksistensialis generasi millenial inilah yang secara eksplisit coba dikritik lewat film “Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody” yang mulai tayang perdana pada 13 juli 2017 lalu. Masih dari adaptasi cerita pendek yang berjudul Filosofi Kopi karya Dewi “Dee” Lestari. Sutradara Angga Dwimas Sasongko kembali menyapa para pecinta filosofi kopi dengan karakter yang sama dari dua sahabat Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto).
Film ini dikembangkan lewat sosok pengusaha perempuan bernama Tarra (Luna Maya) dan seorang barista yang juga seorang sarjana pertanian bernama Brie (Nadine Alexandra Dewi).
Jika pada Filosofi Kopi I kita menemukan sajian Ben dan Jody yang berhasil memenuhi tantangan membuat kopi nomor satu di Indonesia. Kali ini, persahabatan Ben dan Jody di Filosofi Kopi 2, tertantang bagaimana cara membagikan kopi terbaik dengan berkeliling Indonesia.

Suatu hari di Pulau Dewata, Bali, permasalahan diawali dengan mundurnya satu persatu barista Filosofi Kopi karena masing-masing alasan. Kondisi itu memaksa Ben dan Jody memutar otak soal kelanjutan usaha Filosofi Kopi yang semakin lama semakin mengalami kemunduran. Ben lalu mengusulkan pada Jody, agar mereka kembali ke Jakarta saja dan membangun kembali kedai Filosofi Kopi.

Pilihan kembali membuka usaha kedai itu di lokasi yang lama, jalan Melawai Jakarta. Saat itu, selepas ditinggal Filosofi Kopi, gedung bekas kedai mereka tampak kumuh karena tak terurus. Nahas, meski terlihat tak terawat, tapi nilai sewa kedai itu justru naik berlipat-lipat. Bahkan pemilik gedung kedai berniat segera menjualnya dengan harga fantastis.

Ben dan Jody tidak punya pilihan kecuali mencari investor untuk mewujudkan Filosofi Kopi. Sebab, keuangan mereka sudah tidak mungkin bila harus menyediakan 2,5 milyar untuk membangun kembali Filosofi Kopi.

Karakter Ben yang meledak-ledak, penuh emosi, tergesa-gesa dan idealis kembali berbenturan dengan karakter Jody yang penuh perhitungan, tenang, dan pragmatis soal bagaimana membangun Filosofi Kopi.

Apalagi sejak berkenalan dengan perempuan pengusaha bernama Tarra yang menyanggupi kerjasama dengan Ben dan Jody, tapi dengan syarat kepemilikan Filosofi Kopi 49% dikuasai oleh Tarra.
Jody yang penuh perhitungan menolak permintaan Tarra. Namun, Ben yang sejak awal pertemuan sudah menaruh hati pada Tarra, memaksa Jody menyanggupi permintaan Tarra apapun alasannya dengan rasionalisasi bahwa saat ini sangat sulit mencari investor seperti Tarra.

Kedai-pun dibuka. Jody kemudian membawa Barista perempuan bernama Brie yang sejak awal sudah mengagumi sosok Ben. Hanya selang beberapa lama, timbul keinginan Tarra untuk mengembangkan Filosofi Kopi di Jogja. Keinginan Tarra tersebut diutarakan ke Ben. Ben lalu bicara ke Jody tentang tujuan Filosofi Kopi, yang sedari awal adalah untuk membagikan kopi terbaik di seluruh Indonesia. Hingga Jody menyanggupi permintaan Tarra dan Ben untuk membuka cabang Filosofi Kopi di Jogja.
Belum lama setelah Filosofi Kopi di Jogja resmi dibuka, Ben mendapat kabar dari Lampung bahwa ayahnya telah tiada.

Di sinilah konflik bermula. Kala ayah Tarra yang merupakan pengusaha sawit memberikan karangan bunga untuk ayah Ben di Lampung dan karangan bunga untuk pembukaan Filosofi Kopi di Jogja, di situ Ben akhirnya mengetahui bahwa ayah Tarra adalah salah satu direktur perusahaan sawit yang juga menjadi sosok berpengaruh dalam alih fungsi lahan kopi ke sawit yang menyebabkan konflik agraria di Lampung. Konflik lahan itu memakan korban jiwa, menyebabkan ibu Ben meninggal dunia.

Ben tidak terima dengan kenyataan bahwa Tarra adalah putri dari pengusaha yang menggusur ladang kopi milik orang tuanya. Tidak hanya itu, Ben juga terjebak dalam emosi yang kuat antara dendam dan perasaan hatinya pada Tarra.

Dalam situasi ini, Jody mengajak Tarra ke Makasar untuk urusan pengembangan usaha Filosofi Kopi. Berkali-kali Tarra mencoba menghubungi Ben tapi tak berhasil. Hingga Jody menceritakan kisah sebenarnya pada Tarra, bahwa Ben punya masalah dengan ayah Tarra. Mereka bercerita di sebuah pendopo di kebun kopi di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan.

Jauh dari Tanah Toraja. Di Jakarta, Ben sangat fustrasi dengan persoalan yang dialaminya. Hingga satu waktu, ia berhasil menumpahkan curahan hatinya pada Brie, sosok perempuan yang sedari awal sebenarnya tidak disukai oleh Ben. Ben bercerita tentang lahan kopi orang tuanya, alih fungsi lahan dan penggusuran yang dilakukan perusahaan ayah Tarra.


Sekembalinya dari Makasar, Tarra berniat bicara empat mata dengan Ben. Tapi ada sedikit perdebatan antara Tarra dan Ben, hingga Jody mencoba menenangkan keduanya. Puncaknya, Ben dan Jody terlibat konflik yang hebat. Ben menganggap Jody terlalu dibutakan oleh cintanya ke Tarra hingga mengabaikan persahabatan yang mereka bangun bertahun-tahun.

Namun, kerinduan dua orang sahabat mengalahkan keegosian antara Ben dan Jody hingga mereka berdamai dengan diri mereka masing-masing. Atas saran Jody, Ben akhirnya berdamai dengan Tarra.
Keputusan Ben saat itu adalah meninggalkan Filosofi Kopi. Ben dan Brie yang dikisahkan sudah punya perasaan satu sama lain, akhirnya pergi ke Lampung untuk mengurus bibit kopi warisan ayah Ben, sementara Jody dan Tarra tetap di Jakarta untuk meneruskan usaha mengurus Filosofi Kopi.
Sesaat sebelum Ben meninggalkan Filosofi Kopi, Ia berbicara pada Tarra bahwa ada suatu kalimat yang belum sempat dituliskan di kedai itu.

“Bahwa setiap yang punya rasa pasti punya nyawa”

Saya menonton Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody di hari pertama film ini tayang. Film ini setidaknya telah membuka mata para generasi millenial. Bahwa kopi itu tidak hanya soal seduhan, pun soal eksistensi dan intensitas generasi millenial berseliweran di kedai kopi untuk selfie, up date hingga sekadar foto.

Lebih jauh, kopi juga berbicara tentang bagaimana proses menanam, merawat, dan memetik buahnya hingga bisa diseduh dan dinikmati. Di balik seduhan memang ada persahabatan yang dihidupkan oleh kopi. Namun, jauh daripada itu bagi yang menanam, ada orang yang dihidupinya layaknya petani kopi di desa.

Apapun itu, film ini mengajarkan kehidupan, persahabatan, keiklasan dan kebesaran hati yang hampir kita lupakan di era millenial.






sumber: https://www.minumkopi.com/filosofi-kopi-2-setiap-yang-punya-rasa-pasti-punya-nyawa/

Apa itu Gegenpressing?

by 10:39


Kabar dikontraknya Jurgen Klopp sebagai pelatih baru Liverpool tampaknya memunculkan euforia tersendiri. Beberapa ekspektasi mulai bermunculan untuk dirinya. Ekspektasi tersebut tentu saja lumrah mengingat dirinya pernah sukses besar bersama Borussia Dortmund.
Salah satu yang melekat pada Klopp adalah penggunaan gegenpressing oleh dirinya. Seolah gegenpressing merupakan suatu identitas yang melekat pada dirinya. Namun, apa sebenarnya gegenpressing itu?
Pengertian gegenpressing
Gegenpressing merupakan sebuah frasa dari bahasa Jerman yang apabila diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi counterpressing. Frasa ini memiliki peran tersendiri dalam fase permainan sepak bola.
Sebagaimana kita tahu dalam permainan sepak bola terdapat tiga fase utama, yaitu menyerang, bertahan, dan transisi. Fase transisi ini dapat berupa transisi dari bertahan ke menyerang atau transisi dari menyerang ke bertahan.
Jose Mourinho pernah menyatakan bahwa fase transisi merupakan fase yang paling krusial dalam permainan. Mengapa demikian? Karena pada fase ini, umumnya struktur pemosisian suatu tim sedang tidak terorganisir. Maka, tim yang dapat memanfaatkan situasi ini dengan lebih baik akan memiliki keuntungan atas lawannya.









Siklus fase permainan dalam sepak bola
Berdasarkan siklus ideal di atas, ketika suatu tim kehilangan bola maka mereka harus melalui fase transisi bertahan sebelum berada pada situasi bertahan terorganisir. Kemudian setelah berhasil merebut bola, maka mereka akan kembali melalui fase transisi sebelum mencapai situasi penguasaan bola yang terorganisir.
Bagaimana jika kita dapat memotong rantai siklus di atas? Di mana ketika kita kehilangan bola tidak perlu berada dalam fase bertahan, dan sesegera mungkin kembali berada dalam fase menyerang. Di sinilah peranan gegenpressing.
Aplikasi sederhananya, ketika suatu tim kehilangan bola maka pada saat itu juga mereka harus segera merebut bola kembali. Ada beberapa alasan yang dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan hal ini.
Pertama, anda tidak ingin para pemain harus menempuh jarak yang jauh ketika berada pada fase transisi. Jarak tempuh yang jauh pada fase transisi ini dapat menguras energi. Apalagi untuk berada dalam fase bertahan terorganisir, anda dituntut untuk melakukannya dengan cepat.
Kedua, untuk mencegah counterattack lawan. Terutama ketika lawan anda memiliki kecepatan yang sangat baik, baik kecepatan secara individu maupun kecepatan dalam melakukan counterattack secara tim. Dengan menerapkan counterpressing, maka anda akan menghambat laju counterattack lawan. Oleh karena itu terdapat beberapa anggapan bahwa gegenpressing/counterpressing = to press the opponent’s counterattack.
 Sampai pada batasan apa gegenpressing ini dapat dilakukan?
Setiap pelatih tentu memiliki tujuan dan style bermainnya masing-masing. Beberapa mengaplikasikan gegenpressing untuk menghambat laju counterattack lawannya, sedangkan beberapa melakukannya untuk dapat kembali menguasai bola. Pelatih seperti Pep Guardiola bahkan memiliki aturan tersendiri yang disebut “six second rule”, di mana para pemainnya harus segera kembali merebut bola dalam waktu enam detik.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa timnya memiliki rata-rata penguasaan bola yang sangat besar. Sederhananya, dengan menguasai bola maka suatu tim dapat melakukan serangan.
Apa keuntungannya melakukan gegenpressing?
Berdasarkan pada siklus fase permainan sebelumnya ketika suatu tim baru saja merebut bola dari lawannya, maka tujuan utamanya adalah sesegera mungkin untuk melakukan counterattack. Pada situasi ini tentu saja struktur pemosisiannya akan berada pada situasi tidak terorganisir di mana para pemain lawan akan berusaha untuk bergerak ke depan. Sehingga ketika bola berhasil direbut kembali melalui gegenpressing, maka akan lebih mudah dalam melakukan serangan karena lawan berada dalam situasi tidak terorganisir. Lebih tepatnya karena struktur posisi lawan tidak memungkinkan untuk berada dalam fase bertahan terorganisir.
Selain itu, ketika bola berhasil direbut kembali melalui gegenpressing maka posisinya akan berada lebih dekat dengan gawang lawan. Berbeda jika bola berhasil direbut kembali ketika berada pada fase bertahan terorganisir, di mana posisi bola akan lebih dekat dengan gawang sendiri.
Jika sebelumnya telah disebutkan bahwa pada fase transisi ini terdapat disorganisasi struktur posisi, lalu bagaimana bisa suatu tim melakukan gegenpressing dengan efektif?
Pep Guardiola memiliki aturan tersendiri yang disebutnya sebagai ‘’fifteen pass rule”. Sebelum melakukan serangan (progresi bola), timnya harus setidaknya melakukan umpan sebanyak 15 kali. Dengan 15 kali umpan ini diharapkan timnya akan berada dalam struktur posisi yang tepat untuk melakukan progresi dan penetrasi serta berada dalam struktur posisi yang tepat pula untuk melakukan gegenpressing jika bola hilang.
Sederhananya ketika berada dalam fase menyerang timnya juga mempersiapkan diri ketika nantinya berada dalam fase transisi bertahan. Oleh karena itu, Pep Guardiola (dan Juan Manuel Lillo) tidak lagi memandang sepak bola dari siklus tiga fase permainan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka lebih memandangnya sebagai “continuous flow of specific positional structure which the team is trying to achieve” (aliran kontinyu dari struktur posisi tertentu yang dibutuhkan pada situasi tertentu).
Bagaimana mengaplikasikannya?
Ada sejumlah orientasi yang dapat digunakan dalam mengaplikasikan counterpressing. Orientasi ini dapat didasarkan pada orientasi permainan yang pernah diungkapkan oleh Arrigo Sacchi, yaitu bola, ruang, lawan, dan teman. Orientasi ini yang nantinya akan mempengaruhi perilaku ketika melakukan gegenpressing, seperti posisi badan dalam melakukan pressing, berapa orang yang terlibat dalam memberikan pressing, ruang mana yang harus ditutup, dll.
Orientasi-orientasi tersebut juga dapat kita pisahkan masing-masing untuk menyederhanakan aplikasi dari gegenpressing ini. Misalkan pada orientasi lawan, begitu kehilangan bola setiap opsi umpan di sekitar pemain lawan yang menguasai bola akan langsung dijaga. Sementara itu hanya satu atau dua orang saja yang memberikan pressure terhadap pembawa bola. Namun tentu saja pengaplikasian yang paling efektif harus mempertimbangkan situasi di lapangan yang berdasarkan pada keempat orientasi tersebut.
Apakah gegenpressing dapat dikontrol?
Iya. Yang dimaksud dengan kontrol di sini bukanlah struktur posisi untuk melakukannya, namun kemunculannya.
Bagaimana?
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian definisi, bahwa gegenpressing dilakukan untuk merebut bola kembali. Situasi yang terjadi adalah lawan baru saja merebut bola dan akan melakukan counterattack, sehingga struktur posisinya tidak terkontrol dengan baik. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan serangan dengan struktur posisi lawan yang tidak mendukung untuk berada dalam fase bertahan setelah merebut bola kembali via gegenpressing.
Berdasarkan hal tersebut muncul sebuah inovasi taktik di mana suatu tim secara sengaja memberikan umpan yang salah untuk kemudian melakukan gegenpressing. Umpan yang salah ini dapat ditujukan pada area atau pemain tertentu. Tentu saja struktur posisi untuk melakukan gegenpressing harus sudah dipersiapkan. Hal ini dapat dilakukan sejak dari build-up. Build-up yang dilakukan bukanlah untuk melakukan progresi melalui umpan-umpan yang konstruktif, namun untuk mempersiapkan struktur yang memungkinkan untuk melakukan gegenpressing. Pelaku utama dari strategi ini adalah Roger Schmidt yang sukses dengan RB Salzburg dan kini menangani Bayer Leverkusen.



sumber: http://fandom.id/analisis/taktik/2015/10/apa-itu-gegenpressing/?relatedposts_hit=1&relatedposts_origin=8641&relatedposts_position=0
Powered by Blogger.