Gaya Hidup
Perjalanan,Persahabatan dan Kopi
Salah satu masalah utama generasi millenial, terutama di era digital adalah mereka kerap terjebak dalam problem eksistensialis. Mengutip filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre yang mengatakan, “human is condemned to be free”– “Manusia dikutuk untuk bebas mengekspresikan dirinya”. Manusia terjebak pada keinginan harus eksis dan dituntut bebas.
Masalah benar atau salah, prosedural atau substansi adalah urusan lain, sebab yang terpenting adalah kebenaran yang bersifat relatif tidak mutlak. Masalah eksistensi ini, bahkan sudah menyatu dalam kehidupan generasi anak-anak muda millenial.
Terutama soal tempat nongkrong. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang dan Makassar kini sudah mulai dijamuri usaha kedai kopi. Di daerah pinggiran tak kalah, semarak usaha kedai-kedai kopi juga sudah mulai memiliki pangsa pasarnya sendiri.
Meski kadang hanya sebatas pamflet usaha yang tidak seutuhnya menjual kopi, nyatanya brand kedai kopi sudah tak terpisahkan dengan gaya hidup generasi millenial.
Saya teringat saat kali pertama tinggal di kota, usai merampungkan pendidikan SMA. Saya melanjutkan studi pada salah satu universitas di kota Medan. Saat itu, setiap jeda perkuliahan atau sepulang kuliah kerap mengunjungi kedai-kedai kopi untuk menyelesaikan tugas kuliah atau sekadar nongkrong dengan teman-teman.
Jujur, kala itu, saya tak pernah memesan kopi, karena saya memang tidak terlalu menyukainya. Saya lebih suka memesan jenis minuman macam juice, teh manis dingin (ice tea) atau minuman bersoda. Tapi bagi saya, yang paling penting syarat sebuah kedai kopi layak dikunjungi harus menyediakan wi-fi.
Kondisi ini tak hanya berlaku bagi saya, tapi juga buat anak-anak muda segenerasi yang punya paradigma sama. Bahwa mengunjungi kedai kopi itu hanya soal eksistensi, juga soal terpenuhinya perlengkapan batin generasi millenial yaitu baterai gadget, koneksi dan wi-fi. Persoalan dari mana kopi berasal, siapa petaninya, atau jenisnya (robusta atau arabika) itu urusan lain. Kami bahkan tidak peduli.
Masalah paradigma eksistensialis generasi millenial inilah yang secara eksplisit coba dikritik lewat film “Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody” yang mulai tayang perdana pada 13 juli 2017 lalu. Masih dari adaptasi cerita pendek yang berjudul Filosofi Kopi karya Dewi “Dee” Lestari. Sutradara Angga Dwimas Sasongko kembali menyapa para pecinta filosofi kopi dengan karakter yang sama dari dua sahabat Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto).
Film ini dikembangkan lewat sosok pengusaha perempuan bernama Tarra (Luna Maya) dan seorang barista yang juga seorang sarjana pertanian bernama Brie (Nadine Alexandra Dewi).
Jika pada Filosofi Kopi I kita menemukan sajian Ben dan Jody yang berhasil memenuhi tantangan membuat kopi nomor satu di Indonesia. Kali ini, persahabatan Ben dan Jody di Filosofi Kopi 2, tertantang bagaimana cara membagikan kopi terbaik dengan berkeliling Indonesia.
Suatu hari di Pulau Dewata, Bali, permasalahan diawali dengan mundurnya satu persatu barista Filosofi Kopi karena masing-masing alasan. Kondisi itu memaksa Ben dan Jody memutar otak soal kelanjutan usaha Filosofi Kopi yang semakin lama semakin mengalami kemunduran. Ben lalu mengusulkan pada Jody, agar mereka kembali ke Jakarta saja dan membangun kembali kedai Filosofi Kopi.
Pilihan kembali membuka usaha kedai itu di lokasi yang lama, jalan Melawai Jakarta. Saat itu, selepas ditinggal Filosofi Kopi, gedung bekas kedai mereka tampak kumuh karena tak terurus. Nahas, meski terlihat tak terawat, tapi nilai sewa kedai itu justru naik berlipat-lipat. Bahkan pemilik gedung kedai berniat segera menjualnya dengan harga fantastis.
Ben dan Jody tidak punya pilihan kecuali mencari investor untuk mewujudkan Filosofi Kopi. Sebab, keuangan mereka sudah tidak mungkin bila harus menyediakan 2,5 milyar untuk membangun kembali Filosofi Kopi.
Karakter Ben yang meledak-ledak, penuh emosi, tergesa-gesa dan idealis kembali berbenturan dengan karakter Jody yang penuh perhitungan, tenang, dan pragmatis soal bagaimana membangun Filosofi Kopi.
Apalagi sejak berkenalan dengan perempuan pengusaha bernama Tarra yang menyanggupi kerjasama dengan Ben dan Jody, tapi dengan syarat kepemilikan Filosofi Kopi 49% dikuasai oleh Tarra.
Jody yang penuh perhitungan menolak permintaan Tarra. Namun, Ben yang sejak awal pertemuan sudah menaruh hati pada Tarra, memaksa Jody menyanggupi permintaan Tarra apapun alasannya dengan rasionalisasi bahwa saat ini sangat sulit mencari investor seperti Tarra.
Kedai-pun dibuka. Jody kemudian membawa Barista perempuan bernama Brie yang sejak awal sudah mengagumi sosok Ben. Hanya selang beberapa lama, timbul keinginan Tarra untuk mengembangkan Filosofi Kopi di Jogja. Keinginan Tarra tersebut diutarakan ke Ben. Ben lalu bicara ke Jody tentang tujuan Filosofi Kopi, yang sedari awal adalah untuk membagikan kopi terbaik di seluruh Indonesia. Hingga Jody menyanggupi permintaan Tarra dan Ben untuk membuka cabang Filosofi Kopi di Jogja.
Belum lama setelah Filosofi Kopi di Jogja resmi dibuka, Ben mendapat kabar dari Lampung bahwa ayahnya telah tiada.
Di sinilah konflik bermula. Kala ayah Tarra yang merupakan pengusaha sawit memberikan karangan bunga untuk ayah Ben di Lampung dan karangan bunga untuk pembukaan Filosofi Kopi di Jogja, di situ Ben akhirnya mengetahui bahwa ayah Tarra adalah salah satu direktur perusahaan sawit yang juga menjadi sosok berpengaruh dalam alih fungsi lahan kopi ke sawit yang menyebabkan konflik agraria di Lampung. Konflik lahan itu memakan korban jiwa, menyebabkan ibu Ben meninggal dunia.
Ben tidak terima dengan kenyataan bahwa Tarra adalah putri dari pengusaha yang menggusur ladang kopi milik orang tuanya. Tidak hanya itu, Ben juga terjebak dalam emosi yang kuat antara dendam dan perasaan hatinya pada Tarra.
Dalam situasi ini, Jody mengajak Tarra ke Makasar untuk urusan pengembangan usaha Filosofi Kopi. Berkali-kali Tarra mencoba menghubungi Ben tapi tak berhasil. Hingga Jody menceritakan kisah sebenarnya pada Tarra, bahwa Ben punya masalah dengan ayah Tarra. Mereka bercerita di sebuah pendopo di kebun kopi di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan.
Jauh dari Tanah Toraja. Di Jakarta, Ben sangat fustrasi dengan persoalan yang dialaminya. Hingga satu waktu, ia berhasil menumpahkan curahan hatinya pada Brie, sosok perempuan yang sedari awal sebenarnya tidak disukai oleh Ben. Ben bercerita tentang lahan kopi orang tuanya, alih fungsi lahan dan penggusuran yang dilakukan perusahaan ayah Tarra.
Sekembalinya dari Makasar, Tarra berniat bicara empat mata dengan Ben. Tapi ada sedikit perdebatan antara Tarra dan Ben, hingga Jody mencoba menenangkan keduanya. Puncaknya, Ben dan Jody terlibat konflik yang hebat. Ben menganggap Jody terlalu dibutakan oleh cintanya ke Tarra hingga mengabaikan persahabatan yang mereka bangun bertahun-tahun.
Namun, kerinduan dua orang sahabat mengalahkan keegosian antara Ben dan Jody hingga mereka berdamai dengan diri mereka masing-masing. Atas saran Jody, Ben akhirnya berdamai dengan Tarra.
Keputusan Ben saat itu adalah meninggalkan Filosofi Kopi. Ben dan Brie yang dikisahkan sudah punya perasaan satu sama lain, akhirnya pergi ke Lampung untuk mengurus bibit kopi warisan ayah Ben, sementara Jody dan Tarra tetap di Jakarta untuk meneruskan usaha mengurus Filosofi Kopi.
Sesaat sebelum Ben meninggalkan Filosofi Kopi, Ia berbicara pada Tarra bahwa ada suatu kalimat yang belum sempat dituliskan di kedai itu.
“Bahwa setiap yang punya rasa pasti punya nyawa”
Saya menonton Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody di hari pertama film ini tayang. Film ini setidaknya telah membuka mata para generasi millenial. Bahwa kopi itu tidak hanya soal seduhan, pun soal eksistensi dan intensitas generasi millenial berseliweran di kedai kopi untuk selfie, up date hingga sekadar foto.
Lebih jauh, kopi juga berbicara tentang bagaimana proses menanam, merawat, dan memetik buahnya hingga bisa diseduh dan dinikmati. Di balik seduhan memang ada persahabatan yang dihidupkan oleh kopi. Namun, jauh daripada itu bagi yang menanam, ada orang yang dihidupinya layaknya petani kopi di desa.
Apapun itu, film ini mengajarkan kehidupan, persahabatan, keiklasan dan kebesaran hati yang hampir kita lupakan di era millenial.
sumber: https://www.minumkopi.com/filosofi-kopi-2-setiap-yang-punya-rasa-pasti-punya-nyawa/
Post a Comment