Banda naira:Romantisme Perlawanan dan Kesetiaan

by 15:13


    Dunia permusikan dalam negeri tengah mengalami kelesuan, begitu komentar banyak orang. Sangat sulit menemukan pengganti maestro sekelas Chrisye, atau musisi yang kemampuannya mendekati sang legenda Iwan Fals. Bahkan tidak jarang musik dalam negeri menjadi bahan bullying, wajar bagi saya, mungkin mereka haus dengan musik-musik yang bisa memanjakan telinga dan jiwa mereka. Seperti saya yang pengagum berat Iwan Fals, sampai saat ini belum menemukan musisi dengan irama dan syair sedalam lagu-lagu Iwan Fals.

         Di tengah bullying masyarakat terhadap musik dalam negeri saat ini, baik itu cemen, dangkal, gak bermutu, kacangan, dan kata cacian lainnya, suatu malam saya tidak sengaja mendengar alunan musik yang begitu dalam. Di sebuah warung kopi, saat tengah sendirian merangkai kata-kata untuk menyerang birokrat fasis sembari menikmati kopi pahit yang sudah mulai dingin, alunan lagu itu langsung masuk ke relung-relung jiwa yang jarang tersentuh. Membangkitkan kembali rasa melankolis yang sudah lama mati dalam diri saya. Langsung saja saya tanyakan judul dan penyanyinya kepada penjaga warung kopi, ternyata Banda Neira, empunya lagu dengan judul “Sampai Jadi Debu” itu. Masih agak asing namanya bagi saya.

                Tapi terlepas dari keasingan tersebut, sebuah optimisme terhadap industri musik kembali tumbuh. Ternyata masih ada musik-musik berkualitas karya anak bangsa, alunan nada yang sederhana. Namun alunan sederhana itulah membuat saya langsung jatuh cinta. Tidak hanya itu, syair yang disenandungkan juga indah nan puitis, serta dalam dan penuh makna. Tidak seperti musik-musik instan yang booming lewat YouTube, populer hanya karena liriknya yang vulgar bahkan terkesan tidak senonoh, sangat tidak mendidik, begitu dosen PKN saya berpendapat. Yang membuat saya lebih senang, Banda Neira merupakan grup musik indie, bukan grup musik yang dilahirkan dari label musik kapitalis.

               Terlepas dari makna sebenarnya, yang lebih paham tentu Banda Neira sendiri, namun sebagai konsumen tentu saya boleh berkomentar dan memaknainya sesuai dengan subyektivitas saya. Bagi saya lagu “Sampai Jadi Debu” bukan sekadar lagu romance yang berisi kisah percintaan antara dua sejoli, melainkan sebuah cerita romantis, perpaduan antara perlawanan dan kesetiaan. Jauh lebih dalam daripada lagu-lagu dalam negeri yang sempat populer seperti lagu milik Noah, Ungu, Kangen, apalagi Younglex. Eh, sek, Younglex itu siapa ya? A…sudahlah!
Kembali ke lagu “Sampai Jadi Debu”, di awal lagu kita akan dimanjakan dengan alunan gitar akustik dan piano yang begitu menenangkan. Cukup panjang pengantar instrumental yang dimainkan, hampir tiga menit, meski begitu sama sekali tidak membuat saya bosan mendengarnya. Alunannya justru membuat saya semakin terlena, melodi yang dihasilkan seolah telah menyatu dengan jiwa saya yang kering karena terlalu lama menahan dahaga akan nada-nada yang bukan sekadar nada. Nada yang dimainkan Banda Neira seakan memiliki ruh, masuk ke dalam sudut-sudut jiwa terdalam melalui alam bawah sadar siapapun yang mendengarnya.
                
               Memasuki menit ke 2.50, kita akan dimanjakan dengan suara Rara yang begitu syahdu nan renyah. Bait pertama sudah begitu dalam, “Badai Tuan telah berlalu; Salahkah ku menuntut mesra”. Menggambarkan sebuah akhir dari perjuangan, sebuah perlawanan terhadap berbagai masalah dan rintangan yang digambarkan dengan badai. Perlawanan di sini saya artikan luas, bisa perlawanan terhadap penguasa yang fasis, birokrat yang sewenang-wenang, sistem yang menindas, atau yang paling sulit dilawan, nafsu diri sendiri.

                Bait-bait perlawanan kembali didengungkan, kali ini dengan suara Ananda Badudu yang dalam lagi menenangkan setiap hati yang gelisah lewat bait “Tiap taufan menyerang; Kau di sampingku; Kau aman ada bersamaku”. Badai mungkin telah berlalu, namun tidak menutup kemungkinan taufan akan melanda, karena itu kebersamaan tetap harus di jaga. Mendengar syair ini saya teringat dengan masyarakat Indonesia yang begitu majemuk, beragam suku, agama, ras, golongan, dan budaya. Keragaman ini memiliki kelemahan tersendiri, yaitu rawan untuk dipecah belah dengan mengadu domba antar golongan. Ini yang sedang dihadapi bangsa ini, karena itu kebersamaan dan persatuan menjadi hal yang wajib untuk selalu dipegang. Menjadi pribadi yang tidak mutungan juga tidak kalah penting, dengan begitu kita tidak akan mudah terprovokasi seperti kaum pentol korek, gesek sedikit langsung terbakar.
Bait “Sampai kita tua; Sampai jadi debu; Ku di liang yang satu; Ku di sebelahmu” mengakhiri keindahan lagu ini. Sebuah akhir yang menggambarkan kesetiaan abadi. Bukan sekadar janji gombal ala cinta monyet ABG, “akan setia sampai kapanpun, saat suka maupun duka”. Untaian kata yang dirajut Banda Neira terasa begitu tulus dan suci, sangat apik. Dari sudut pandang romantik bait ini mengajarkan bagaimana kemesraan dan kesetiaan yang hakiki. Membuat siapapun yang mendengarnya selalu memegang teguh kesetiaan tanpa ingin tahu bagaimana rasanya mendua.
Dari sudut pandang saya, kesetiaan yang terkandung dalam sulaman bait itu lebih dari sekadar kesetiaan antara dua sejoli yang tengah memadu kasih. Syair “Sampai Jadi Debu” mengajarkan saya untuk tetap setia pada proses, yaitu perlawanan terhadap segala bentuk kemungkaran. Setia untuk menentang badai, menghadang taufan, melenyapkan bersama setiap penindasan, meski risikonya diri sendiri yang akan lenyap. Setia untuk meniti jalan jihad untuk melawan kezaliman, membela kebenaran dan keadilan, karena itulah jihad yang hakiki. Tidak peduli Satpol PP menggaruk, bahkan tentara menghadang. Karena tidak ada hal yang lebih indah dan romantis selain mati bersama saat berjihad melawan penindasan dan kesewenang-wenangan.

           Lagu ini memang sudah cukup lama, rilis pada awal tahun 2016, meski begitu keindahannya tidak akan pudar terkikis waktu. Saya memang cukup terlambat mengenal Banda Neira, bahkan mengenalnya setelah bubar. Tapi tidak apa, agak kecewa memang mendengar kenyataan itu. Namun setidaknya kini playlist lagu saya telah bertambah dengan lagu-lagu Banda Neira.










Sumber: https://www.minumkopi.com/sampai-jadi-debu-romantisme-perlawanan-dan-kesetiaan/

Perjalanan,Persahabatan dan Kopi

by 10:58




Salah satu masalah utama generasi millenial, terutama di era digital adalah mereka kerap terjebak dalam problem eksistensialis. Mengutip filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre yang mengatakan, “human is condemned to be free”– “Manusia dikutuk untuk bebas mengekspresikan dirinya”. Manusia terjebak pada keinginan harus eksis dan dituntut bebas.
Masalah benar atau salah, prosedural atau substansi adalah urusan lain, sebab yang terpenting adalah kebenaran yang bersifat relatif tidak mutlak. Masalah eksistensi ini, bahkan sudah menyatu dalam kehidupan generasi anak-anak muda millenial.
Terutama soal tempat nongkrong. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang dan Makassar kini sudah mulai dijamuri usaha kedai kopi. Di daerah pinggiran tak kalah, semarak usaha kedai-kedai kopi juga sudah mulai memiliki pangsa pasarnya sendiri.
Meski kadang hanya sebatas pamflet usaha yang tidak seutuhnya menjual kopi, nyatanya brand kedai kopi sudah tak terpisahkan dengan gaya hidup generasi millenial.

Saya teringat saat kali pertama tinggal di kota, usai merampungkan pendidikan SMA. Saya melanjutkan studi pada salah satu universitas di kota Medan. Saat itu, setiap jeda perkuliahan atau sepulang kuliah kerap mengunjungi kedai-kedai kopi untuk menyelesaikan tugas kuliah atau sekadar nongkrong dengan teman-teman.
Jujur, kala itu, saya tak pernah memesan kopi, karena saya memang tidak terlalu menyukainya. Saya lebih suka memesan jenis minuman macam juice, teh manis dingin (ice tea) atau minuman bersoda. Tapi bagi saya, yang paling penting syarat sebuah kedai kopi layak dikunjungi harus menyediakan wi-fi.
Kondisi ini tak hanya berlaku bagi saya, tapi juga buat anak-anak muda segenerasi yang punya paradigma sama. Bahwa mengunjungi kedai kopi itu hanya soal eksistensi, juga soal terpenuhinya perlengkapan batin generasi millenial yaitu baterai gadget, koneksi dan wi-fi. Persoalan dari mana kopi berasal, siapa petaninya, atau jenisnya (robusta atau arabika) itu urusan lain. Kami bahkan tidak peduli.



Masalah paradigma eksistensialis generasi millenial inilah yang secara eksplisit coba dikritik lewat film “Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody” yang mulai tayang perdana pada 13 juli 2017 lalu. Masih dari adaptasi cerita pendek yang berjudul Filosofi Kopi karya Dewi “Dee” Lestari. Sutradara Angga Dwimas Sasongko kembali menyapa para pecinta filosofi kopi dengan karakter yang sama dari dua sahabat Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto).
Film ini dikembangkan lewat sosok pengusaha perempuan bernama Tarra (Luna Maya) dan seorang barista yang juga seorang sarjana pertanian bernama Brie (Nadine Alexandra Dewi).
Jika pada Filosofi Kopi I kita menemukan sajian Ben dan Jody yang berhasil memenuhi tantangan membuat kopi nomor satu di Indonesia. Kali ini, persahabatan Ben dan Jody di Filosofi Kopi 2, tertantang bagaimana cara membagikan kopi terbaik dengan berkeliling Indonesia.

Suatu hari di Pulau Dewata, Bali, permasalahan diawali dengan mundurnya satu persatu barista Filosofi Kopi karena masing-masing alasan. Kondisi itu memaksa Ben dan Jody memutar otak soal kelanjutan usaha Filosofi Kopi yang semakin lama semakin mengalami kemunduran. Ben lalu mengusulkan pada Jody, agar mereka kembali ke Jakarta saja dan membangun kembali kedai Filosofi Kopi.

Pilihan kembali membuka usaha kedai itu di lokasi yang lama, jalan Melawai Jakarta. Saat itu, selepas ditinggal Filosofi Kopi, gedung bekas kedai mereka tampak kumuh karena tak terurus. Nahas, meski terlihat tak terawat, tapi nilai sewa kedai itu justru naik berlipat-lipat. Bahkan pemilik gedung kedai berniat segera menjualnya dengan harga fantastis.

Ben dan Jody tidak punya pilihan kecuali mencari investor untuk mewujudkan Filosofi Kopi. Sebab, keuangan mereka sudah tidak mungkin bila harus menyediakan 2,5 milyar untuk membangun kembali Filosofi Kopi.

Karakter Ben yang meledak-ledak, penuh emosi, tergesa-gesa dan idealis kembali berbenturan dengan karakter Jody yang penuh perhitungan, tenang, dan pragmatis soal bagaimana membangun Filosofi Kopi.

Apalagi sejak berkenalan dengan perempuan pengusaha bernama Tarra yang menyanggupi kerjasama dengan Ben dan Jody, tapi dengan syarat kepemilikan Filosofi Kopi 49% dikuasai oleh Tarra.
Jody yang penuh perhitungan menolak permintaan Tarra. Namun, Ben yang sejak awal pertemuan sudah menaruh hati pada Tarra, memaksa Jody menyanggupi permintaan Tarra apapun alasannya dengan rasionalisasi bahwa saat ini sangat sulit mencari investor seperti Tarra.

Kedai-pun dibuka. Jody kemudian membawa Barista perempuan bernama Brie yang sejak awal sudah mengagumi sosok Ben. Hanya selang beberapa lama, timbul keinginan Tarra untuk mengembangkan Filosofi Kopi di Jogja. Keinginan Tarra tersebut diutarakan ke Ben. Ben lalu bicara ke Jody tentang tujuan Filosofi Kopi, yang sedari awal adalah untuk membagikan kopi terbaik di seluruh Indonesia. Hingga Jody menyanggupi permintaan Tarra dan Ben untuk membuka cabang Filosofi Kopi di Jogja.
Belum lama setelah Filosofi Kopi di Jogja resmi dibuka, Ben mendapat kabar dari Lampung bahwa ayahnya telah tiada.

Di sinilah konflik bermula. Kala ayah Tarra yang merupakan pengusaha sawit memberikan karangan bunga untuk ayah Ben di Lampung dan karangan bunga untuk pembukaan Filosofi Kopi di Jogja, di situ Ben akhirnya mengetahui bahwa ayah Tarra adalah salah satu direktur perusahaan sawit yang juga menjadi sosok berpengaruh dalam alih fungsi lahan kopi ke sawit yang menyebabkan konflik agraria di Lampung. Konflik lahan itu memakan korban jiwa, menyebabkan ibu Ben meninggal dunia.

Ben tidak terima dengan kenyataan bahwa Tarra adalah putri dari pengusaha yang menggusur ladang kopi milik orang tuanya. Tidak hanya itu, Ben juga terjebak dalam emosi yang kuat antara dendam dan perasaan hatinya pada Tarra.

Dalam situasi ini, Jody mengajak Tarra ke Makasar untuk urusan pengembangan usaha Filosofi Kopi. Berkali-kali Tarra mencoba menghubungi Ben tapi tak berhasil. Hingga Jody menceritakan kisah sebenarnya pada Tarra, bahwa Ben punya masalah dengan ayah Tarra. Mereka bercerita di sebuah pendopo di kebun kopi di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan.

Jauh dari Tanah Toraja. Di Jakarta, Ben sangat fustrasi dengan persoalan yang dialaminya. Hingga satu waktu, ia berhasil menumpahkan curahan hatinya pada Brie, sosok perempuan yang sedari awal sebenarnya tidak disukai oleh Ben. Ben bercerita tentang lahan kopi orang tuanya, alih fungsi lahan dan penggusuran yang dilakukan perusahaan ayah Tarra.


Sekembalinya dari Makasar, Tarra berniat bicara empat mata dengan Ben. Tapi ada sedikit perdebatan antara Tarra dan Ben, hingga Jody mencoba menenangkan keduanya. Puncaknya, Ben dan Jody terlibat konflik yang hebat. Ben menganggap Jody terlalu dibutakan oleh cintanya ke Tarra hingga mengabaikan persahabatan yang mereka bangun bertahun-tahun.

Namun, kerinduan dua orang sahabat mengalahkan keegosian antara Ben dan Jody hingga mereka berdamai dengan diri mereka masing-masing. Atas saran Jody, Ben akhirnya berdamai dengan Tarra.
Keputusan Ben saat itu adalah meninggalkan Filosofi Kopi. Ben dan Brie yang dikisahkan sudah punya perasaan satu sama lain, akhirnya pergi ke Lampung untuk mengurus bibit kopi warisan ayah Ben, sementara Jody dan Tarra tetap di Jakarta untuk meneruskan usaha mengurus Filosofi Kopi.
Sesaat sebelum Ben meninggalkan Filosofi Kopi, Ia berbicara pada Tarra bahwa ada suatu kalimat yang belum sempat dituliskan di kedai itu.

“Bahwa setiap yang punya rasa pasti punya nyawa”

Saya menonton Filosofi Kopi 2 : Ben & Jody di hari pertama film ini tayang. Film ini setidaknya telah membuka mata para generasi millenial. Bahwa kopi itu tidak hanya soal seduhan, pun soal eksistensi dan intensitas generasi millenial berseliweran di kedai kopi untuk selfie, up date hingga sekadar foto.

Lebih jauh, kopi juga berbicara tentang bagaimana proses menanam, merawat, dan memetik buahnya hingga bisa diseduh dan dinikmati. Di balik seduhan memang ada persahabatan yang dihidupkan oleh kopi. Namun, jauh daripada itu bagi yang menanam, ada orang yang dihidupinya layaknya petani kopi di desa.

Apapun itu, film ini mengajarkan kehidupan, persahabatan, keiklasan dan kebesaran hati yang hampir kita lupakan di era millenial.






sumber: https://www.minumkopi.com/filosofi-kopi-2-setiap-yang-punya-rasa-pasti-punya-nyawa/

Apa itu Gegenpressing?

by 10:39


Kabar dikontraknya Jurgen Klopp sebagai pelatih baru Liverpool tampaknya memunculkan euforia tersendiri. Beberapa ekspektasi mulai bermunculan untuk dirinya. Ekspektasi tersebut tentu saja lumrah mengingat dirinya pernah sukses besar bersama Borussia Dortmund.
Salah satu yang melekat pada Klopp adalah penggunaan gegenpressing oleh dirinya. Seolah gegenpressing merupakan suatu identitas yang melekat pada dirinya. Namun, apa sebenarnya gegenpressing itu?
Pengertian gegenpressing
Gegenpressing merupakan sebuah frasa dari bahasa Jerman yang apabila diterjemahkan ke bahasa Inggris menjadi counterpressing. Frasa ini memiliki peran tersendiri dalam fase permainan sepak bola.
Sebagaimana kita tahu dalam permainan sepak bola terdapat tiga fase utama, yaitu menyerang, bertahan, dan transisi. Fase transisi ini dapat berupa transisi dari bertahan ke menyerang atau transisi dari menyerang ke bertahan.
Jose Mourinho pernah menyatakan bahwa fase transisi merupakan fase yang paling krusial dalam permainan. Mengapa demikian? Karena pada fase ini, umumnya struktur pemosisian suatu tim sedang tidak terorganisir. Maka, tim yang dapat memanfaatkan situasi ini dengan lebih baik akan memiliki keuntungan atas lawannya.









Siklus fase permainan dalam sepak bola
Berdasarkan siklus ideal di atas, ketika suatu tim kehilangan bola maka mereka harus melalui fase transisi bertahan sebelum berada pada situasi bertahan terorganisir. Kemudian setelah berhasil merebut bola, maka mereka akan kembali melalui fase transisi sebelum mencapai situasi penguasaan bola yang terorganisir.
Bagaimana jika kita dapat memotong rantai siklus di atas? Di mana ketika kita kehilangan bola tidak perlu berada dalam fase bertahan, dan sesegera mungkin kembali berada dalam fase menyerang. Di sinilah peranan gegenpressing.
Aplikasi sederhananya, ketika suatu tim kehilangan bola maka pada saat itu juga mereka harus segera merebut bola kembali. Ada beberapa alasan yang dapat menjadi pertimbangan untuk melakukan hal ini.
Pertama, anda tidak ingin para pemain harus menempuh jarak yang jauh ketika berada pada fase transisi. Jarak tempuh yang jauh pada fase transisi ini dapat menguras energi. Apalagi untuk berada dalam fase bertahan terorganisir, anda dituntut untuk melakukannya dengan cepat.
Kedua, untuk mencegah counterattack lawan. Terutama ketika lawan anda memiliki kecepatan yang sangat baik, baik kecepatan secara individu maupun kecepatan dalam melakukan counterattack secara tim. Dengan menerapkan counterpressing, maka anda akan menghambat laju counterattack lawan. Oleh karena itu terdapat beberapa anggapan bahwa gegenpressing/counterpressing = to press the opponent’s counterattack.
 Sampai pada batasan apa gegenpressing ini dapat dilakukan?
Setiap pelatih tentu memiliki tujuan dan style bermainnya masing-masing. Beberapa mengaplikasikan gegenpressing untuk menghambat laju counterattack lawannya, sedangkan beberapa melakukannya untuk dapat kembali menguasai bola. Pelatih seperti Pep Guardiola bahkan memiliki aturan tersendiri yang disebut “six second rule”, di mana para pemainnya harus segera kembali merebut bola dalam waktu enam detik.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa timnya memiliki rata-rata penguasaan bola yang sangat besar. Sederhananya, dengan menguasai bola maka suatu tim dapat melakukan serangan.
Apa keuntungannya melakukan gegenpressing?
Berdasarkan pada siklus fase permainan sebelumnya ketika suatu tim baru saja merebut bola dari lawannya, maka tujuan utamanya adalah sesegera mungkin untuk melakukan counterattack. Pada situasi ini tentu saja struktur pemosisiannya akan berada pada situasi tidak terorganisir di mana para pemain lawan akan berusaha untuk bergerak ke depan. Sehingga ketika bola berhasil direbut kembali melalui gegenpressing, maka akan lebih mudah dalam melakukan serangan karena lawan berada dalam situasi tidak terorganisir. Lebih tepatnya karena struktur posisi lawan tidak memungkinkan untuk berada dalam fase bertahan terorganisir.
Selain itu, ketika bola berhasil direbut kembali melalui gegenpressing maka posisinya akan berada lebih dekat dengan gawang lawan. Berbeda jika bola berhasil direbut kembali ketika berada pada fase bertahan terorganisir, di mana posisi bola akan lebih dekat dengan gawang sendiri.
Jika sebelumnya telah disebutkan bahwa pada fase transisi ini terdapat disorganisasi struktur posisi, lalu bagaimana bisa suatu tim melakukan gegenpressing dengan efektif?
Pep Guardiola memiliki aturan tersendiri yang disebutnya sebagai ‘’fifteen pass rule”. Sebelum melakukan serangan (progresi bola), timnya harus setidaknya melakukan umpan sebanyak 15 kali. Dengan 15 kali umpan ini diharapkan timnya akan berada dalam struktur posisi yang tepat untuk melakukan progresi dan penetrasi serta berada dalam struktur posisi yang tepat pula untuk melakukan gegenpressing jika bola hilang.
Sederhananya ketika berada dalam fase menyerang timnya juga mempersiapkan diri ketika nantinya berada dalam fase transisi bertahan. Oleh karena itu, Pep Guardiola (dan Juan Manuel Lillo) tidak lagi memandang sepak bola dari siklus tiga fase permainan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Mereka lebih memandangnya sebagai “continuous flow of specific positional structure which the team is trying to achieve” (aliran kontinyu dari struktur posisi tertentu yang dibutuhkan pada situasi tertentu).
Bagaimana mengaplikasikannya?
Ada sejumlah orientasi yang dapat digunakan dalam mengaplikasikan counterpressing. Orientasi ini dapat didasarkan pada orientasi permainan yang pernah diungkapkan oleh Arrigo Sacchi, yaitu bola, ruang, lawan, dan teman. Orientasi ini yang nantinya akan mempengaruhi perilaku ketika melakukan gegenpressing, seperti posisi badan dalam melakukan pressing, berapa orang yang terlibat dalam memberikan pressing, ruang mana yang harus ditutup, dll.
Orientasi-orientasi tersebut juga dapat kita pisahkan masing-masing untuk menyederhanakan aplikasi dari gegenpressing ini. Misalkan pada orientasi lawan, begitu kehilangan bola setiap opsi umpan di sekitar pemain lawan yang menguasai bola akan langsung dijaga. Sementara itu hanya satu atau dua orang saja yang memberikan pressure terhadap pembawa bola. Namun tentu saja pengaplikasian yang paling efektif harus mempertimbangkan situasi di lapangan yang berdasarkan pada keempat orientasi tersebut.
Apakah gegenpressing dapat dikontrol?
Iya. Yang dimaksud dengan kontrol di sini bukanlah struktur posisi untuk melakukannya, namun kemunculannya.
Bagaimana?
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian definisi, bahwa gegenpressing dilakukan untuk merebut bola kembali. Situasi yang terjadi adalah lawan baru saja merebut bola dan akan melakukan counterattack, sehingga struktur posisinya tidak terkontrol dengan baik. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan serangan dengan struktur posisi lawan yang tidak mendukung untuk berada dalam fase bertahan setelah merebut bola kembali via gegenpressing.
Berdasarkan hal tersebut muncul sebuah inovasi taktik di mana suatu tim secara sengaja memberikan umpan yang salah untuk kemudian melakukan gegenpressing. Umpan yang salah ini dapat ditujukan pada area atau pemain tertentu. Tentu saja struktur posisi untuk melakukan gegenpressing harus sudah dipersiapkan. Hal ini dapat dilakukan sejak dari build-up. Build-up yang dilakukan bukanlah untuk melakukan progresi melalui umpan-umpan yang konstruktif, namun untuk mempersiapkan struktur yang memungkinkan untuk melakukan gegenpressing. Pelaku utama dari strategi ini adalah Roger Schmidt yang sukses dengan RB Salzburg dan kini menangani Bayer Leverkusen.



sumber: http://fandom.id/analisis/taktik/2015/10/apa-itu-gegenpressing/?relatedposts_hit=1&relatedposts_origin=8641&relatedposts_position=0

Paul Cumming You Never Walk Alone

by 21:49


Nama Paul Cumming mungkin terdengar asing bagi generasi muda Indonesia hari ini. Tapi Paul Cumming adalah nama besar di Indonesia, khususnya dalam dunia sepakbola dekade 80-an.
Di era Galatama, pelatih asal Inggris ini tercatat pernah membesut klub asal Jakarta, Indonesia Muda dari 1981 hingga 1983. Ia juga pernah membawa Perseman Manokwari menjadi juara Divisi I tahun 1983.
Sebagai orang asing yang tinggal puluhan tahun di Indonesia dan kini sudah mengantongi status kewarganegaraan Indonesia, pria 67 tahun ini berbagi cerita tentang rasa cintanya pada Nusantara.
“Malam pun saya mimpi dalam Bahasa Indonesia. Haha,” ujar penggemar Liverpool ini kepada CNN Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (28/10/2014).
Rasa cintanya terhadap Indonesia diakui Paul muncul akibat keindahan alam yang luar biasa yang ada di bumi Indonesia. “Di dunia tidak ada yang menyamai keindahan gunung dan hutan di Indonesia,” tutur pria kelahiran 8 Agustus 1947.
Berangkat dari rasa cinta yang mendalam kepada bumi Indonesia inilah Paul memutuskan untuk pindah kewarganegaraan, meski kemudian ia harus bersabar karena proses panjang yang harus ia lalui.
Tanggal 10 November 1999 menjadi hari bersejarah baginya. Setelah penantian panjang selama 19 tahun, di hari itu ia akhirnya resmi menjadi WNI. Meski sebenarnya ia paham bahwa di Indonesia lazim ada cara instan untuk mendapatkan status WNI, namun dirinya dengan tegas enggan mengambil jalan pintas itu.
“Saya tidak mau, itu tidak sesuai dengan diri saya. Saya tetap ikuti aturan yang ada,” kata Paul Cumming.
Tak seperti sekarang naturalisasi pemain maupun pelatih asing terasa begitu mudah, waktu itu Paul menjelaskan aturan dari pihak imigrasi mewajibkan WNA yang ingin pindah kewarganegaraan harus tinggal selama kurang lebih 15 tahun di Indonesia.
Penantian panjang untuk memperoleh status WNI membuat Paul betul-betul meresapi Indonesia dalam dirinya. Ia mengatakan sangat puas atas perjuangannya selama belasan tahun mengurus proses tersebut.
“Saya orang asing pertama di Bandar Lampung yang jadi WNI,” kata pria 67 tahun yang mengaku takut naik pesawat itu dengan nada bangga.
Paul mengaku sangat terkesan dengan kehangatan yang ia terima dari masyarakat Bandar Lampung kala itu. Paul pun menceritakan bagaimana ia menggelar pesta di pantai bersama dengan warga di hari di mana ia akhirnya sah menjadi WNI.
“Tidak ada motivasi lain mengapa saya mau menjadi WNI, saya cinta Indonesia,” ucapnya. Setelah mendapat status WNI, hari-harinya di Indonesia pun tidaklah semudah yang ia kira. Tahun 1998 ia dipecat dari Perserikatan Sepakbola Bandar Lampung (PSBL), tempat ia melatih sejak tahun 1991, akibat krisis moneter yang berimbas buruk pada keuangan klub.
Paul harus menyambung hidup dengan membuka usaha persewaan perahu. Ia harus bertahan dari teror yang dilakukan oleh preman-preman setempat. Malahan pada 2001, Paul menceritakan ia pernah ditusuk oleh preman bersenjata tanpa alasan yang jelas.
Meski berkali-kali menelan pil pahit, hal itu tidak menurunkan kecintaannya pada Indonesia. Ia selalu memandang apa yang dialaminya dengan positif.
“Saya yakin di Indonesia banyak orang baik, saya hanya berpikir orang Indonesia itu jujur dan ramah. Itu yang membuat saya tetap bertahan sampai hari ini,” kata Paul.
Saat ini Paul menghabiskan masa tuanya bersama sang istri di rumah kecil di kaki Gunung Semeru. Sehari-hari ia menyambung hidup dengan membuka usaha persewaan game di rumahnya. “Kadang satu hari hanya dapat lima ribu, kadang tiga puluh ribu,” ucapnya tanpa nada mengeluh.
Meski hasilnya tak menentu, Paul sangat menikmati hidupnya di Indonesia dan enggan untuk kembali lagi ke negeri asalnya. Sesekali, Paul juga masih mengikuti perkembangan berita sepakbola Indonesia dari koran yang ia baca.
“Saya betul-betul sangat cinta dengan Indonesia,” ujar Paul yang dua minggu lalu baru saja menjalani operasi kanker untuk kedua kalinya, menutup perbincangan di hari itu.


Paul Cumming: Mimpi Itu Terwujud
Lagu The Fields of Anfield Road sampai ia salin sendiri di sebuah buku kecil. Catatan itu ia bawa ke Senayan ketika tim pujaannya, Liverpool FC, bermain di Stadion Gelora Bung Karno akhir pekan lalu.
“Hari ini adalah hari kebanggaan untuk saya. Nonton Liverpool di GBK adalah Dream Come True. Salam untuk semua penggemar bola di Tanah Air,” demikian Paul Cumming bertutur melalui akun twitter-nya, @papuansoccer, di hotel sebelum berangkat ke stadion Sabtu (20/7/2013) siang.
Usianya yang hampir 66 tahun, ditambah kondisinya yang kerap sakit dalam satu tahun terakhir, termasuk kanker kulit kepala yang menyerangnya baru-baru ini, membuat gerak-gerik Paul melambat, seperti juga intonasi suaranya yang rendah, sehingga sesekali kami harus merapat untuk bisa mendengarnya lebih jelas.
Selama mendampingi Paul, kami jarang mendapatinya tertawa dengan suara keras apalagi sampai terbahak-bahak. Jika ada hal lucu, ia akan tersenyum lebar atau cukup terkekeh-kekeh — tapi itu sudah menunjukkan keceriaan di wajahnya.
“Saya malu kalau tertawa lebar di depan orang banyak. Soalnya gigi sudah tak ada,” seloroh pelatih legendaris yang pernah melatih sejumlah tim Indonesia selama hampir tiga dawasarwa itu.
Walaupun suaranya rendah dan terlihat sebagai seorang lelaki tua yang pendiam, Paul sesungguhnya memiliki selera humor yang mengasyikkan. Ia bisa tiba-tiba menceletukkan sesuatu yang membuat kami “kaget” dan tertawa. Suatu ketika, misalnya, ia cukup sibuk menerima panggilan via telepon selulernya. Pada sebuah deringan berikutnya, Paul menerimanya sambil berdiri dan berucap, “Halo? Steven Gerrard?”
Paul juga tipikal “bapak-bapak yang kalau sudah bercerita susah dihentikan”. Sewaktu kami membawanya bersantap malam di sebuah restoran India di Jalan Jaksa — ia kepingin sekali bernostalgia ke tempat itu — ia menghibur kami dengan kisah-kisah hidupnya yang beraneka warna.
Sebelumnya, pada Jumat siang ia kami ajak mengikuti acara Liverpool yang diadakan oleh Standard Chartered di Plaza Senayan. Kepada dia kami menjelaskan, sesi itu adalah penandatangan kontrak baru bank tersebut dengan The Reds. Ia lalu menimpali, “Wah, saya terlambat kalau begitu. Tadinya saya berharap rental Play Station saya bisa jadi sponsor Liverpool.”
Paul, yang pernah terkenal saat menangani Persiraja Banda Aceh, Perseman Manokwari, PSBL Lampung dan tim PON Papua Barat, saat ini tinggal di Dusun Drigu, Poncokusuma, Kabupaten Malang, dengan pemandangan Gunung Semeru yang gagah perkasa. Di rumahnya yang sederhana, yang ia diami bersama sang istri, sehari-harinya ia menyewakan Play Station untuk anak-anak di kampung, dengan tarif Rp 2.000 per jam.
Ketika diundang sebuah situs online untuk menonton pertandingan Liverpool melawan timnas Indonesia, ia tampak betul mempersiapkannya dengan antusias. Bahkan ia sudah berbaju The Reds saat meninggalkan rumahnya menuju stasiun Malang, untuk berangkat ke ibukota dengan kereta api. Di sana ia sempat dilepas oleh Big Reds Malang, dan juga sang istri yang menyempatkan diri meninggalkan sejenak tugasnya sebagai guru di sebuah SMA negeri di kota tersebut.

“Sampai ketemu di Sektor 9-11. Saya nonton dengan teman2 di tribun @BIGREDS_IOLSC YNWA,” Paul melanjutkan tweet-nya di perjalanan menuju Senayan.



Mengenakan satu-satunya jersey Liverpool yang ia bawa dari Malang, Paul berdandan seperti suporter fanatik. Ia menutupi kepalanya dengan topi merah, serta membawa syal dan bendera tim kesayangannya itu. Hujan yang menyambut kehadirannya kembali ke GBK tak menyurutkan semangatnya untuk menyaksikan aksi Gerrard dkk.
Sesampainya di GBK, banyak orang mengenali dirinya. Mereka silih berganti menyapa dan meminta foto bareng, dan tidak satu pun ditolak Paul. Sejumlah fans remaja mencium tangannya, layaknya “cucu kepada kakeknya”. Mereka mengucapkan doa-doa untuk kesehatan Paul.
Jam 5 sore kami tiba di Gate V, di antara ratusan orang yang mulai mengular di depan pintu masuk yang belum dibuka. BIG REDS secara khusus menyediakan tempat untuk Paul, tapi dia sendiri yang minta menonton bersama-sama suporter Liverpool, dan bukannya memilih di tribun VIP.
Paul diberi keistimewaan masuk lebih dulu dibanding ratusan fans di belakangnya, bersama Alief Ryanda (20), seorang suporter “edan” yang mencoba ke Jakarta dengan bersepeda motor dari Aceh, tapi mengalami kecelakaan di Labuhan Batu, Sumatera Utara. Kakinya patah, tersenggol truk. Demi tim kecintaannya, Alief tetap berangkat ke Jakarta, terbang dari Medan.
Setelah melewati pintu masuk, Alief lebih dulu harus menaiki tangga yang cukup tinggi menuju sektor penonton. Dibantu dua orang, ia bangkit dari kursi roda, meniti anak tangga satu per satu. Para Big Reds di luar memberinya dukungan moral dengan menyanyikan chant-chant untuk dirinya. Alief sempat terisak terharu dengan dukungan luar biasa itu.
Itu pula yang dilakukan Big Reds saat Paul perlahan-lahan menaiki tangga yang sama. Mereka menggemakan koor “Paul, Paul, Paul”, setiap kali dia melangkahkan kakinya. Setelah anak tangga terakhir dijejaki, Paul membalikkan badannya, melambaikan tangan kepada para suporter, yang kemudian riuh bertepuk tangan. Mata Paul berkaca-kaca. “Belum pernah saya mendapatkan yang seperti ini,” ucapnya lirih.
Dan Paul akhirnya dapat mewujudkan keinginannya menonton pertandingan Liverpool. Ia ada di sana, di stadion utama negeri yang sangat ia cintai ini, di antara lautan manusia beratribut merah, dalam atmosfer yang penuh sensasi, ketika chant-chant dan lagu You’ll Never Walk Alone tak henti-hentinya dikumandangkan suporter, seakan-akan GBK adalah Anfield.
“Selagi masih hidup, harus bisa nonton Liverpool. Dan akhirnya mimpi saya terwujud. Walaupun tidak bisa bertemu pemain langsung, tapi saya bisa menyaksikan mereka di Senayan. Saya sangat terharu. Terima kasih untuk semua yang telah memberikan dukungan. Saya takkan pernah melupakan pengalaman yang luar biasa ini,” ucap Paul kepada kami.
Meninggalkan GBK malam itu, Paul masih saja dihampiri orang-orang yang ingin menyapa dan berfoto bersama. Dan lagi-lagi, walaupun keletihan sudah melanda, ia tetap melayani permintaan mereka dengan ramah.
Tak terasa, kami baru sampai hotel lagi pukul 1 dinihari. Paul masih sempat menonton televisi untuk mencari pemberitaan seputar pertandingan tadi. Ia sampai tertidur di sofa, sebelum kami bangunkan supaya pindah ke tempat tidur.
Minggu (21/7) siang Paul dijemput oleh Balafans, kelompok suporter Lampung , yang ingin membawanya “pulang ke kampung halaman” — Paul pernah tujuh tahun tinggal di Lampung saat melatih PSBL (1991-1998).
Selain dengan suporter, kerabat lamanya di Lampung dan media, Paul juga dipertemukan dengan sejumlah pejabat teras setempat, termasuk Gubernur Sjachroedin ZP. Selain bersilaturahmi, mereka juga memberikan bantuan materil untuk membantu meringankan biaya operasi yang akan dijalani Paul sekembalinya ke Malang nanti.
“Tolong detiksport sampaikan terima kasih saya kepada semua orang yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materil kepada saya. Saya tidak menyangka, saya terharu sekali membaca komentar dan tweet mereka. Doakan pula semoga operasi saya nanti berjalan lancar,” ujar Paul tadi malam.





Surat Terbuka dari Paul Cumming
Pelatih legendaris Paul Cumming kini dalam masa pemulihan setelah operasi kanker di kulit kepalanya berjalan dengan baik. Ia menuliskan sesuatu untuk segenap pembaca detiksport dan fans Indonesia.
Berikut ini surat elektronik yang dikirimkan Paul kepada redaksi detiksport:
Kepada pembaca detiksport dan detikcom yang sangat saya hargai, salam hangat dari lereng Semeru.
Saya sekarang mulai pulih sehabis operasi di empat titik untuk basalioma (kanker kulit ganas di bagian kepala), yang saya idap.
Dua bulan yang lalu saya sangat bingung. Kanker ganas itu harus dioperasi, sedangkan saya tidak memiliki cukup biaya.
Kemudian, sesudah ada berita di detiksport, dan didukung pula Coach Timo Scheunemann, reaksi dari masyarakat sangat luar biasa. Saya mendapat banyak sekali pesan SMS maupun melalui akun twitter saya, yang isinya dukungan moril dan doa-doa untuk kesehatan saya.
Atas kepeduliannya, berkat doa dan bantuan finansial saudara-saudara sekalian, pada tanggal 14 Agustus operasi selama 3 jam dilakukan di RS Panti Nirmala, Malang. Saya dibolehkan pulang pada tanggal 17 Agustus, tepat di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, untuk rawat jalan
Dengan ini saya mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya untuk semua dukungan dari semua fans di tanah air, dan juga pembaca detiksport. Tak lupa kepada suporter Lampung, BalaFans, sehingga saya bisa kembali mengunjungi salah satu daerah di Indonesia yang sangat saya cintai itu. Terima kasih pula kepada Bapak-Bapak pejabat di sana yang telah memberi bantuannya kepada saya.
Saya sungguh terharu dan tidak tahu dengan cara apa membalas semua kebaikan Saudara-saudara sekalian, kecuali semoga Tuhan membalas dengan segala kebaikan pula.
Dengan ini pula izinkan saya untuk mengatakan, betapa saya sangat berbahagia bisa mewujudkan Salah satu mimpi saya beberapa waktu lalu, yaitu menonton langsung pertandingan klub favorit saya, Liverpool FC, melawan timnas Indonesia di Stadion Gelora Bung Karno.
Pengalaman yang saya dapatkan di sana sungguh luar biasa. Saya bertemu dengan banyak orang, saya merasa sangat dihormati. Saya sangat respek khususnya kepada Big Reds atas apresiasi yang ditunjukkan kepada saya di GBK. Tidak pernah saya membayangkan sebelumnya, telinga saya mendengarkan mereka bernyanyi “There’s Only One Paul Cumming”. Juga ketika saya menaiki tangga stadion, mereka terus memberi semangat pada saya. Saya benar-benar terharu.

Sekali lagi, terima kasih. God Bless You all. God Bless Indonesia yang sangat saya cintai.
23 Agustus 2013,
Desa Drigu, Poncokusomo, Malang
Paul Cumming
@papuansoccer
You’ll Never Walk Alone, Coach.





Sumber:

https://yudiweb.wordpress.com/2014/10/28/paul-cumming-cintanya-yang-mendalam-kepada-bumi-indonesia/ 
https://sport.detik.com/sepakbola/liga-indonesia/2339405/surat-terbuka-dari-paul-cumming/2
http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20141028135105-269-8498/setia-pada-indonesia-hingga-usia-senja/
https://sport.detik.com/aboutthegame/detik-insider/d-2311192/paul-cumming-mimpi-itu-terwujud







Ode Carpe Diem Steven Gerrard

by 08:48


Jika sepakbola tidak hanya soal mencetak gol dan meraih kemenangan, barangkali konsistensi dan kontribusi bagi klub bisa dipertimbangkan sebagai salah satu syarat pencapaian tertinggi seorang pesepak bola.
Alasannya sederhana, sepakbola adalah permainan tim. Seorang pemain bergantung pada performa pemain yang lain. Satu kesalahan individu bisa berakibat fatal untuk tim.
Di sisi lain, pemain begitu mudah datang dan pergi. Pelatih, yang bisa jadi akan mengubah strategi permainan dan siap menguji mental setiap pemain pun sama saja.
Namun, seberapa banyak pemain yang mampu bertahan saat dirinya telah bermain sebaik mungkin, tetapi pada akhirnya ia tak mendapatkan apa yang ia mimpikan seperti saat ia pertama kali datang ke klub tersebut?
Bayangkan jika setiap pemain adalah Steven Gerrard. Seorang pemain yang telah bermain lebih dari 700 pertandingan bersama klubnya.
Ia telah melewati lima kali pergantian pelatih, dari era Gérard Houllier (1998-2004), Rafael Benitez (2004-2010), Roy Hodgson (2010-2011), Kenny Dalglish (2011-2012), dan Brendan Rodgers (2012-2015). Ia telah mencetak 186 gol dan mempersembahkan 10 gelar juara.
Selama 17 tahun kariernya bersama Liverpool, tak pernah sekalipun ia mencicipi juara Liga Primer Inggris. Ketika peluang terbaik itu datang pada musim 2013/2014, ia justru dicaci dan dicemooh hanya karena terpeleset dalam sebuah pertandingan melawan Chelsea, yang mengakibatkan Liverpool gagal meraih kemenangan.
Kondisi seperti itu sangat mungkin menjadikan beban dan membuat frustrasi pemain lain. Hengkang ke klub yang lebih prestisius, ikut kompetisi bergengsi, dan menjanjikan gaji lebih tinggi akan jadi pilihan yang sulit untuk ditolak.
Gerrard adalah seorang pemain yang disegani oleh rekan setimnya maupun oleh para legenda The Reds. Ia adalah gelandang yang selalu diberi kepercayaan pelatih untuk menjadi kapten Liverpool selama 11 tahun sejak tahun 2003.
Di atas kertas, Gerrard adalah jenis pemain yang bisa bermain konsisten meski dilatih oleh pelatih yang berbeda. Jenis pemain yang seluruh jiwa raganya berwarna bahkan sejak ia datang kali pertama ke Anfield.
Ialah pesepak bola biasa yang selalu ingin membantu dan memberi kontribusi kepada rekan setimnya untuk meningkatkan kualitas mental dan permainannya. Tidak neko-neko dan terlalu banyak diliput media. Bukan jenis pesepak bola yang flamboyan, layaknya David Beckham atau Cristiano Ronaldo.
Carpe diem
Quintus Horatius Flaccus (Horace), penulis puisi pada zaman kaisar Agustus (65-68 SM), pernah menulis sebuah ode yang di dalamnya menyematkan kalimat dalam bahasa Latin yang berbunyi carpe diem, quam minimum credula postero, yang artinya ‘petiklah hari ini dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok’.
Dalam puisi itu, Horace mengartikan frasa carpe diem sebagai keadaan saat manusia sedang mengalami masa menikmati, memaksimalkan, menjalani, dan menggunakan (enjoy, seize, use, make use of) seluruh kemampuannya untuk berbuat.
Kerja keras Gerrard untuk Liverpool adalah bentuk laku carpe diem. Ia akan terus berusaha menampilkan performa terbaik saat bertanding. Hari ini adalah hari ini, bukan esok. Ia terus bertindak nyata dalam hidupnya, untuk mengupayakan hasil yang terbaik.
Saat di atas lapangan, ia lebih memilih belajar dari kegagalan ketimbang mengingat perayaan kemenangan. Tak terkecuali dalam peristiwa penting yang begitu dibanggakan, yaitu juara Liga Champions 2005 di Istanbul.
Dalam biografinya, My Story, ia pernah berharap setelah pensiun, pada saatnya nanti, ada satu fase dalam hidupnya yang membuat ia bisa merasa sangat bahagia.
“Anda mungkin akan melihat saya dalam sebuah even di Istanbul pada 40 tahun yang akan datang, pada saat tragedi tersebut telah berusia 50 tahun. Saya akan merasa tua dan bahagia di usia 75 tahun,” katanya dalam buku My Story.
Menaruh rasa hormat kepada seorang pemain yang selama belasan tahun hanya membela satu klub dan melakukan yang terbaik baik di dalam maupun di luar lapangan rasanya tak berlebihan ketimbang memberi rasa hormat kepada pemain yang berpindah-pindah klub dengan prestasi yang naik turun.
Ada tanggung jawab moral yang lain ketika seorang pemain diberi kepercayaan tinggi untuk membela satu klub. Termasuk kepada klub, suporter, pelatih, maupun rekan-rekan satu tim yang ingin belajar darinya.
Kepindahannya ke LA Galaxy setelah hengkang dari Liverpool di usia 36 tahun barangkali adalah keputusan yang tepat. Di usia tersebut, tak baik memaksakan diri untuk bermain di sebuah klub yang sedang melakukan regenerasi.
Ada saatnya memberi kesempatan kepada pemain-pemain yang lain untuk mengaktualisasikan dirinya bermain di sebuah klub prestisius dengan sambutan suporter yang luar biasa saat bermain di kandang.
Ia kembali ke Liverpool setelah kontrak bersama LA Galaxy habis pada bulan November 2016. Setahun lebih bersama bersama LA Galaxy, ia menjalani 34 pertandingan dan menyumbang lima gol.
Luis Suarez, kawan baik Gerrard saat keduanya masih sama-sama bermain di Liverpool, menulis testimoni ketika Gerrard memutuskan untuk pensiun pada 24 November 2016.
“Seiring berjalannya waktu, Steven menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pemimpin. Dia seorang yang apa adanya dan pemain ambisius di lapangan. Dia selalu menunjukkan dukungan yang luar biasa sambil terus membantu saya mengeluarkan yang terbaik yang saya punya.”
Gerrard telah berusaha mengejar mimpi-mimpinya dan berusaha keluar dari zona nyaman dengan mencoba bermain di salah satu klub terbaik Amerika Serikat.
Sebagai seorang yang tumbuh besar di Whiston, Merseyside dan membela klub sekotanya, ia sama sekali tak meninggalkan kesan yang buruk. Ia telah melakukan hal yang belum tentu bisa dilakukan oleh para pesepak bola lain: menghabiskan sebagian besar kariernya sebagai seorang pesepak bola profesional di wilayah tempat ia dibesarkan.
Hari Rabu, 1 Februari 2017, Gerrard kembali ke akademi pemain muda Liverpool yang terletak di kota Kirkby. Akademi yang sama saat pertama kali ia mengawali kariernya. Ia akan menjadi staf pelatih pemain muda Liverpool di bawah arahan Direktur Akademi, Alex Inglethrope.
Dengan segudang pengalaman yang pernah ia raih di level tertinggi, rasanya tak terlalu sulit menanamkan pengetahuan mendalam atas kunci dan etos kerja sebagai pemain Liverpool selama bertahun-tahun.
Pemain-pemain muda berbakat Liverpool seperti Curtis Jones, Rhian Brewster, Yan Dhanda, Adam Phillips, hingga yang sudah pernah bermain bersama skuat senior seperti Trent-Alexander Arnold dan Ovie Ejaria sudah selayaknya belajar banyak dari Gerrard. Termasuk mengenalkan filosofi carpe diem seperti yang pernah ia lakukan sebagai pesepak bola.
Mari kita tunggu hasilnya, apa yang bisa dilakukan seorang Gerrard sebagai mentor adik-adiknya sesama satu akademi? Akankah Gerrard akan menjadi salah satu pelatih asal Inggris yang sukses— di tengah krisis pelatih asli Inggris— suatu hari nanti?
Hanya waktu yang bisa menjawab.



Sumber: http://fandom.id/feature/2017/02/ode-carpe-diem-steven-gerrard/

Napas Sepuluh Musim Sami Hyypiä

by 08:41

Secara postur tubuh, Sami Hyypiä masih kalah tinggi dari eks striker jangkung Liverpool era 2005-2008, Peter Crouch— juga termasuk dalam pemain tertinggi ketiga sepanjang sejarah Premier League.
Fans Liverpool pernah menyanyikan chants untuk Crouch yang berbunyi “He’s big, he’s red, his feet stick out of bed!” karena ukuran kakinya yang semampai.
Hyypiä hanya selisih satu inci lebih pendek dari Joel Matip, bek Liverpool asal Kamerun. Matip sendiri adalah pemain tertinggi Liverpool musim 2016/2017.
Dengan tinggi badan yang mencapai 193 sentimeter dan warna rambutnya yang putih kecokelatan, tak akan sulit menemukan pergerakan Hyypiä di lapangan. Jika melihat video-video cuplikan pertandingan Liverpool masa lalu, ia akan sering terlihat menjaga area pertahanan sentral The Kop bersama bek kawakan Stephane Henchoz atau Jamie Carragher.
Duel udara sudah barang tentu menjadi kelebihan Hyypiä. Meskipun bukan tipe pelari cepat, ia memiliki kesadaran pemosisian yang baik. Berkat kemampuannya itu, Hyypiä beberapa kali mencetak gol, baik lewat sundulan, maupun sepakan kakinya.
Hyypiä termasuk pemain yang agresif merebut bola dan sering melakukan tekel bersih. Jika melihat catatan hitamnya bersama Liverpool, ia hanya sekali mendapatkan kartu merah.
Tepatnya saat melakukan pelanggaran kepada striker tajam Manchester United musim 2002/2003, Ruud van Nistelrooy, terjadi pada sebuah laga di Old Trafford yang berakhir dengan kekalahan telak 4-0.
“Van Nistelrooy merasa aku telah menarik sedikit bagian kaosnya. Wasit juga berpikir demikian. Aku langsung diberi kartu merah. Mereka (Manchester United) mendapatkan hadiah penalti. Itu adalah salah satu kekecewaanku saat menyaksikan pertandingan itu di ruang ganti. Satu-satunya kartu merah dalam karierku,” ungkap Hyypiä dalam sebuah artikel The Guardian.

Meski berposisi sebagai bek, hampir setiap musim, pemain bernomor punggung 4 itu mencetak minimal dua gol. Rekor golnya yang paling banyak adalah lima gol dalam semusim yang pernah ia raih secara berturut-turut pada musim 2001/2002, 2002/2003, dan 2003/2004.
Satu gol Hyypiä yang tak terlupakan adalah saat pertandingan Liverpool melawan Juventus pada babak perempat final Liga Champions 2004/2005. Hyypiä mencetak satu gol pembuka lewat tendangan voli kaki kirinya ke gawang Gianluigi Buffon setelah menerima bola liar yang berawal dari titik tendangan sudut.
Pertandingan klasik — jika mengingat tragedi Heysel 1985 — yang berakhir dengan skor kemenangan tipis 2 – 1 itu kemudian mengantarkan Liverpool menjadi juara Liga Champions yang ke-5 pada tahun 2005.
“Aku naik ke area lawan saat bola mati dan aku menunggu untuk menciptakan gol. Meskipun tugasku adalah menjaga clean sheet ketimbang menciptakan gol, tetapi gol adalah bonus, dan hari ini terjadi lewat kaki kiriku,” kenang Hyypiä mengingat gol penting itu.
Hyypiä bukan satu-satunya orang Finlandia yang meraih sukses sebagai pesepak bola profesional. Sebagai sesama orang Finlandia, Hyypiä sering disebut sebagai suksesor Jari Litmanen, penyerang produktif Ajax Amsterdam era 90-an.
Keduanya bahkan pernah menjadi rekan satu tim di Liverpool selama kurun waktu 2001-2002. Sayang, Litmanen lebih banyak mengalami cedera saat bermain untuk Liverpool.
Menjadi kapten dan legenda
Masa muda lelaki kelahiran Porvoo, Finlandia, itu awalnya hanya menyukai permainan hoki es. Jenis olahraga yang lebih populer ketimbang sepak bola di Finlandia. Ia tumbuh di tengah kedua orang tuanya yang kebetulan adalah pemain sepak bola.
Ayahnya bermain untuk klub sepak bola lokal Pallo Peikot, sedangkan ibunya adalah seorang penjaga gawang amatir.
“Aku pikir hanya ada satu pilihan karier untukku, yaitu sepak bola,” kata Hyypiä setelah ia memutuskan menjadi pemain sepak bola profesional.
Hyypiä memulai karier seniornya di klub lokal Finlandia, PaPe (1989), Kumu (1990-1991), MyPa (1992-1995), sebelum kemudian berlabuh di klub Belanda, Willem II (1995-1999), dengan pencapaian yang membanggakan.
Bersama Willem II— klub yang juga melahirkan Jaap Stam dan Marc Overmars, ia berhasil membawa klubnya berada di posisi kedua Eredivisie musim 1998/1999. Prestasi terbaik klub itu sejauh ini.
Pembelian Hyypiä seharga 2,6 juta poundsterling pada tahun 1999 dari Willem II adalah salah satu pembelian terbaik Liverpool. Hyypiä diboyong ke Anfield oleh Gérard Houllier saat berusia 26 tahun. Usia emas bagi seorang pesepak bola.
Kedatangan Hyypiä menempatkan dirinya satu skuat bersama nama-nama senior seperti Vladimir Smicer, Dietmar Hamann, Emile Heskey, Sander Westerveld, Jamie Redknapp, Michael Owen, juga Robbie Fowler. Dua tahun kemudian, ia segera dipercaya menjadi kapten tim, bergantian dengan Robbie Fowler atau Jamie Redknapp.
Mendapatkan pemain yang relatif murah dengan prestasi yang membanggakan adalah impian banyak klub sepak bola. Namun, tak semua pesepak bola yang berprestasi layak disebut legenda. Mereka yang layak disebut legenda adalah pemain-pemain yang mampunyai andil membawa klubnya naik ke level yang lebih tinggi.
Liverpool sudah sepantasnya bangga memiliki jajaran bek hebat yang pantas disebut sebagai legenda, sebut saja Ron Yeats, Tommy Smith, Phil Thompson, Alan Kennedy, Alan Hansen, Mark Lawrenson, baru kemudian Sami Hyypiä. Sebagai catatan, nama-nama yang disebut sebelum Sami Hyypiä adalah eks pemain Liverpool sebelum era Liga Primer—sebelum tahun 1992.
Bek yang selalu terlibat dalam momen-momen penting, konsisten mencetak gol, pernah menjabat sebagai kapten tim, dan menjadi juara di level kompetisi setingkat Eropa adalah beberapa kontribusi penting Hyypiä bagi tim.
Tanggal 24 Mei 2009 menjadi hari terakhir Hyypiä berkiprah bersama Liverpool selama sepuluh musim. Laga partai kandang versus Tottenham Hotspurs yang berakhir dengan kemenangan 3-1 adalah laga perpisahan bagi pemain yang namanya termasuk dalam daftar pemain tersukses Liga Primer yang didatangkan dari luar Inggris.
Ia takkan lagi berlari menghalau bola bersama kesebelasan yang memiliki slogan “You’ll Never Walk Alone” itu. Napasnya seakan telah berhenti saat itu juga.
Pada hari itu, ia memberi sambutan terakhir ke sepenjuru arah Stadion Anfield, di antara panji-panji kebanggaan Liverpool. Ia peluk rekan-rekan satu timnya hingga tak sanggup menahan rasa haru. Momen itu barangkali mengingatkannya akan masa-masa paling membahagiakan selama 464 kali penampilan dengan 35 gol untuk Liverpool.
Sebuah koreo apik tersuguh di salah satu sisi tribun Anfield, membentuk corak bendera Finlandia dan tulisan “SAMI”. Sambil menyanyikan chants “Oooh Sami, Sami!”, puluhan ribu suporter menjadi saksi lahirnya seorang legenda baru.



Sumber: http://fandom.id/feature/profil/2016/09/napas-sepuluh-musim-sami-hyypia/

Rivalitas Manchester United dan Liverpool serta Dua Tragedi Kemanusiaan

by 08:26

 Pada tanggal 1 January 1894, Kanal Manchester untuk pertama kalinya digunakan. Kanal ini adalah sarana bagi kapal untuk singgah di Kota Manchester yang dikenal sebagai kota industri.
Kanal ini pula yang memantik persaingan antara penduduk Kota Manchester dan penduduk Kota Liverpool. Persaingan tersebut nantinya akan menghasilkan rivalitas antara Manchester United dan Liverpool bertajuk North West Derby.
Sebelum Kanal Manchester dibangun, Manchester dan Liverpool adalah dua kota yang saling melengkapi. Berkembang dalam kultur yang sama sebagai kaum pekerja, penduduk kedua kota ini saling bersimbiosis dalam perekonomian.
Manchester sebagai kota industri yang menghasilkan barang bersinergi dengan Liverpool sebagai kota pelabuhan yang menjadi jalur masuk keluarnya barang-barang tersebut. Namun sejak Kanal Manchester dibangun, kapal-kapal memilih untuk singgah langsung di Manchester sehingga merugikan perekonomian Liverpool. Semenjak itu rivalitas antara penduduk kedua kota muncul.
Hal senada pernah diungkapkan Sir Alex Ferguson. “Liverpool selalu menjadi rival dan tidak akan berubah. Ini bukan karena posisi di liga, tapi juga secara geografis sejak Daniel Adamson membangun kanal untuk kapal berlabuh yang menjauh dari Liverpool ke Manchester,” ucapnya.
Rivalitas meluas ke ranah sepak bola. Pada era lawas Liga Primer Inggris, Manchester United dan Liverpool silih berganti memimpin persaingan gelar. Persaingan semakin panas setelah Perang Dunia II berakhir.
Pada 1945, Matt Busby yang baru 2 tahun pensiun sebagai pemain ditawari posisi sebagai pelatih Liverpool. Namun, Ia menolak karena manajemen Liverpool tidak bersedia memberikan kebebasan kepada Matt untuk mengatur timnya sendiri.
Pada akhirnya, Busby memutuskan melatih Manchester United. Bersama Manchester United, Busby mengukir sejarah indah dengan mempersembahkan 5 trofi liga, 2 Piala FA, 5 FA Charity Shield, dan 1 European Cup.
Busby juga berhasil memoles trio Denis Law, Bobby Charlton, dan George Best yang di era modern dijuluki United Trinity. Sebagai catatan, Matt Busby adalah mantan pemain Liverpool yang pernah mengemas 3 gol dari 115 laga.
Melihat menterengnya prestasi Matt Busby, mungkin petinggi Liverpool saat itu susah tidur karena dirundung penyesalan karena gagal meyakinkannya untuk duduk di kursi pelatih. Pada 1959, manajemen The Reds berhasil move on setelah menunjuk Bill Shankly menjadi pelatih. Selama melatih, Shankly mempersembahkan 3 Liga Inggris, 2 Piala FA, 4 FA Charity Shield, dan 1 UEFA Cup.
Era Matt Busby yang dilanjutkan United Trinity di Manchester United bersamaan dengan era Bill Shankly di Liverpool merupakan rivalitas besar di Inggris pada kurun waktu 1945-1973. Namun setelah itu, Manchester United terpuruk bahkan sempat terdegradasi.
Lain nasib dengan Liverpool yang semakin bersinar hingga ke kancah Eropa. Dimotori oleh Kenny Dalglish, baik sebagai pemain maupun pelatih, The Kop berhasil meraup 9 trofi liga, 3 Piala FA, 5 Piala Liga, 7 FA Charity Shield, 3 European, Cup dan 1 UEFA Super Cup. Saat itulah Liverpudlian menari-nari di atas penderitaan fans Manchester United yang sedang menghadapi kenyataan pahit.
Kebangkitan Manchester United dari keterpurukan diawali dengan penunjukan Sir Alex Ferguson pada 1986. Keputusan petinggi Manchester United yang pada akhirnya menjadi sebuah perjudian sukses.
Salah satu langkah Sir Alex di awal kepelatihannya adalah mempromosikan sekelompok pemuda pada 1992 yang nantinya disebut Class of 92. Pemuda-pemuda ini mengambil peran besar dalam kebangkitan Manchester United termasuk gelar treble dramatis pada tahun 1999.
Selama pengabdiannya, Sir Alex berhasil mempersembahkan 13 trofi liga, 5 Piala FA, 4 Piala Liga, 10 FA Charity Shield/Community Shield, 1 UEFA Winners Cup, 2 Liga Champions, 1 UEFA Super Cup, 1 Intercontinental Cup, dan 1 FIFA Club World Cup.
Pada era manajer asal Skotlandia itu juga, Manchester United berhasil menyalip torehan gelar Liga Inggris yang dikumpulkan Liverpool, sekaligus menjadi klub dengan raihan gelar liga terbanyak.
Bersamaan dengan kebangkitan Manchester United, Liverpool malah puasa gelar. Dalam kurun waktu tahun 1992 hingga sekarang, Liverpool hanya mendapat 2 Piala FA, 4 Piala Liga, 2 Community Shield, 1 Europa League, dan 1 Liga Champions, dan 2 UEFA Super Cup.
Gelar Champions League pada tahun 2005 bahkan harus diraih dengan susah payah melalui drama berjudul “Miracle of Istanbul”.
Di luar lapangan, rivalitas meluas dengan cukup unik. Garry Neville dan Jamie Carragher yang sama-sama pernah menjadi kapten Manchester United dan Liverpool kerap kali saling olok ketika menjadi pundit bagi salah satu televisi olahraga.
Saat ini, rivalitas Manchester United dan Liverpool memasuki era baru. Kedua klub sedang membangun kejayaannya kembali. Manchester United yang linglung setelah ditinggal sang legenda, Sir Alex Ferguson, mencoba menggunakan jasa Jose Mourinho.
Di sisi lain, The Anfield Gank, yang selama dua dekade menjadi bahan ejekan fans Manchester United mengharapkan magis Jurgen Klopp dengan Heavy Metal Football-nya.
Sebagai penganut sekte pemuja Setan Merah (baca: fans Manchester United), kebencian kepada Liverpool juga mengalir dalam darah penulis. Penulis juga ikut tersenyum saat Steven Gerrard mewarnai North West Derby terakhirnya dengan mendapat kartu merah hanya 38 detik setelah dirinya menginjak lapangan.
Namun penulis juga seperti kebanyakan fans Manchester United lainnya yang melakukan “gencatan senjata” dengan Liverpool setiap tanggal 15 April. Pada tanggal itu, peringatan tragedi kemanusiaan di mana 96 orang meninggal saat pertemuan Liverpool dengan Nottingham Forrest pada tahun 1989 diperingati. Tragedi tersebut dikenal dengan sebutan Tragedi Hillsborough.
Sementara itu, mayoritas Liverpudlian juga meliburkan rivalitas dengan Manchester United pada tanggal 6 Februari. Simpati mereka berikan kepada Manchester United yang sedang memperingati hari duka akibat Tragedi Munchen pada tahun 1958.
Pada saat itu, pesawat yang membawa pemain Manchester United selepas dari laga di Belgrade jatuh di bandara Munchen. Tragedi tersebut memakan korban 8 pemain dan 3 staf Setan Merah.
Berkaitan dengan kedua tragedi tersebut, Jose Mourinho juga meminta kedua kubu untuk saling memberikan penghormatan. “Tentu saja dalam sepak bola kita memiliki ‘tragedi’ sepak bola yang dapat Anda buat sebagai ejekan,” kata Mourinho dalam konferensi pers yang dilansir laman resmi Manchester United.
“Tragedi manusia jauh lebih serius dan bukan hal yang pantas digunakan seseorang di lapangan sepak bola. Kita perlu memberi penghormatan, jadi saya akan benar-benar sedih jika dalam suatu pertandingan besar terdapat hal negatif tersebut,” lanjutnya.
Rivalitas Manchester United dan Liverpool yang besar, tidak akan lebih besar dari nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, jika sepak bola harus melibatkan tragedi kemanusiaan yang mengorbankan banyak nyawa, lebih baik sepak bola tidak pernah dimainkan.


Sumber: http://fandom.id/feature/sejarah/2016/10/rivalitas-manchester-united-dan-liverpool-dan-dua-tragedi-kemanusiaan/

Liverpool Era Juergen Klopp Perlu Meniru Kepemimpinan Sir Alex Ferguson di Manchester United

by 08:21


Mendukung sebuah klub bernama Liverpool bukan perkara mudah. Banyak hal yang membuat Anda menjadi sedikit sinting lantaran ekspektasi yang diharapakan jarang menjadi kenyataan.  Salah satu ekspektasi itu adalah keinginan merekrut pemain world class di bursa transfer.
Saat Liverpool kesulitan mendatangkan pemain world class, Manchester United yang hanya bermain di Europa League justru melakukan hal sebaliknya. Mereka membuktikan bahwa bermain di Liga Malam Jumat tak memengaruhi citra mereka sebagai klub besar dan digdaya menarik hati pemain bintang. Hal yang gagal dilakukan Liverpool, bahkan saat mereka lolos ke Liga Champions 2 musim lalu.
Kedatangan Sir Alex Ferguson 30 tahun lalu menjadi awal rezim kesuksesan United di ranah Inggris setelah sempat meredup sepeninggal Sir Matt Busby. Sementara Liverpool sejak ditinggal Rafael Benitez seret trofi bergengsi (lupakan trofi Capital One Cup tahun 2012). Untuk English Premier League sendiri, mereka sudah puasa gelar 26 tahun. Iya, 26 tahun.
Secercah harapan muncul kala Jurgen Klopp datang dari Borussia Dortmund ke Kota Pelabuhan untuk menggantikan Brendan Rodgers. Pria berkacamata tersebut langsung diberikan beban berat seperti awal kedatangan Sir Alex Ferguson ke United kala itu: mengembalikan kejayaan klub.
Memang, Fergie baru bisa memberikan gelar pertamanya bagi United di musim keempatnya. Namun, selebihnya adalah sejarah, yang membuat United sampai saat ini sangat disegani sebagai salah satu tim terpopuler.
Maka ketika kini Klopp nyaris genap setahun menangani Liverpool, saya melihat ada beberapa hal yang patut diikuti Si Merah untuk mencontoh United.
Kebijakan transfer
Jika Anda seorang Kopites dan berharap Liverpool mendapatkan pemain sekelas Zlatan Ibrahimovic, maka lebih baik main FIFA atau PES saja. Liverpool tidak sudi membeli pemain gratis dengan label world class. The Reds lebih terpesona dengan yang tua dan sudah usang semacam Kolo Toure, Alex Maningger, dan Milan Jovanovic dengan status transfer yang sama.
Paragraf di atas adalah sedikit celotehan saya yang lumayan shock dengan kebijakan transfer Manchester United dalam tiga setengah musim terakhir. Setan Merah terlihat jor-joran dalam mengeluarkan uang demi mendapatkan pemain incarannya. Seperti bukan Manchester United yang saya kenal di masa lalu, yang biasanya berhati-hati memilah pemain incaran.
Paul Pogba, Juan Mata, Anthony Martial, Eric Bailly adalah pemain dengan nominal transfer masing-masing seharga lebih dari 30 juta poundsterling sejak Ferguson mengudurkan diri dari jabatannya sebagai manajer.
Padahal, dahulu, pria kelahiran Skotlandia tersebut memiliki kebijakan transfer yang menurut saya tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Juventus saat ini. Fergie terlihat pilih-pilih pemain jika ingin mengeluarkan kocek besar.
Pada 2007, ia memang mendatangkan Dimitar Berbatov dari Tottenham Hotspur seharga 30,7 juta poundsterling. Sialnya, Berbatov dicap flop oleh sejumlah media Inggris. Pun dengan Juan Sebastian Veron, yang bahkan lebih buruk ketimbang Berbatov.
Selebihnya, mayoritas ia merekrut pemain yang memiliki potensi menjadi bintang.
The Reds, meskipun juga beberapa kali melakukan perjudian dengan mendatangkan pemain yang kerap dilabeli overrated dengan harga fantastis, saat ini berangsur berubah. Klopp laiknya Ferguson, lebih berhati-hati dalam memilih pemain dengan kriteria serta harga yang sudah dipikirkan secara matang.
Sejauh ini, Sadio Mane dan Georginio Wijnaldum menjadi dua pemain termahal Klopp di bursa transfer. Sisanya merupakan pemain potensial dengan harga murah yakni Marko Grujic, Loris Karius, dan Joel Matip. Sewaktu di Dortmund, transfer termahal Klopp adalah Henrik Mkhitaryan yang diboyong dari Shakthar Donetsk (19,25 juta poundsterling).
Kebijakan transfer Klopp ini setidaknya membuat Linda Pizzuti dapat menghabiskan uang John W. Henry, suaminya, dengan pergi ke salon sesering mungkin.
Percaya dengan latihan
Medio November 2015, Klopp menyerukan pernyataan yang membuat saya melting. Ia merasa jika hanya dia satu-satunya orang di dunia ini yang lebih percaya latihan ketimbang membeli pemain di bursa transfer untuk menciptakan kualitas.
Dengan materi pemain seadanya musim lalu, Klopp sukses membawa Liverpool mencapai dua final meskipun gagal juara.
Kini, dengan kedatangan Pep Guardiola serta Antonio Conte ke jajaran top tim elit disertai dengan belanja pemain bintang secara masif, skuat Liverpool masih dianggap kurang bisa bersaing, bahkan untuk finis di 4 besar saja sudah dianggap pencapaian besar.
Musim 2012/2013, Ferguson membawa Manchester United meraih gelar EPL ke-20. Jika dicermati, saat itu skuat yang dimiliki Fergie kalah mentereng ketimbang Chelsea dan Manchester City. Namun, Fergie dengan sifat konservatifnya tahu benar bagaimana membangun skuat yang besar tidak bergantung kepada nama besar.
Dengan skuat yang hampir sama semusim setelahnya mereka nyaris juara andai tidak ada teriakan bersejarah “Agueroooo” oleh Martyn Tyler.
Mungkin saja, dengan konsep training lebih baik ketimbang transfer, Fergie yakin bahwa sebuah gelar tidak sulit untuk diraih. Pemain macam John O’Shea, Tom Cleverley, dan Wes Brown bahkan bisa berkembang dengan baik.
Maka dari itu, Liverpool tak perlu merendah dengan skuat yang tidak semewah para rival. Jika Klopp mampu menyatukan elemen parsial di dalam skuat bahkan sampai suporter, justru para rival yang harus berhati-hati.
Jika Ferguson mampu menenggelamkan Arsenal dengan skor 8-2 kala itu dengan starting XI yang hipster, saya harap Klopp nanti mampu mempermalukan City-nya Guardiola dengan Ragnar Klavan, James Milner, dan Alex Manninger di dalamnya. Kalau kalah? Tenang, kan This is (always) will be Our Year.
Fondasi masa depan
The Class of 1992 milik United bukan hanya sebuah cerita, namun mimpi sempurna bagi setiap pemain muda akademi di negeri Ratu Elizabeth. David Beckham, dkk. dikolaborasikan tangan dingin Fergie mampu membawa kesuksesan bagi The Red Devils. Hal ini adalah sesuatu yang patut dipelajari oleh Liverpool.
Liverpool kebanjiran pemain muda potensial dengan beragam macam talenta.  Musim lalu, nama-nama seperti Sheyi Ojo, Cameron Brannagan, Kevin Stewart, sampai Pedro Chirivella sudah diorbitkan Klopp. Di samping itu, masih ada pemain yang tampil memukau di pra-musim seperti Ovie Ejaria, Ben Woodburn, dan Ryan Kent.
Mantan pelatih Mainz tersebut bahkan sudah menguatkan keinginginannya untuk terus mempromosikan para youngster ke tim utama. Semenjak Steven Gerrard dan Jamie Carragher, akademi Liverpool memang mandek menelurkan pemain berkualitas.
Jordan Rossiter, yang dilabeli The Next Gerrard karena rupa dan gaya bermain yang mirip bahkan harus menyeberang ke Skotlandia karena tidak mampu bersaing dalam persaingan lini tengah Liverpool.
Sementara itu, nama-nama seperti Jay Spearing, Martin Kelly, dan Jon Flanagan tak mampu memenuhi ekspektasi publik. Nama terakhir, yang dilabeli The British Cafu bahkan harus dipinjamkan ke Burnley untuk mendapatkan puncak performanya kembali seperti di musim 2013/2014.
Dengan orientasi yang sudah dirancang Klopp, rasa-rasanya tak ada salahnya berharap jika ini saat yang tepat untuk melihat tim utama Liverpool dihuni banyak pemain binaan akademi. Soal gelar itu urusan nanti.
**
Memang, semuanya masih dalam asumsi Klopp tetap di Liverpool sampai kontraknya berakhir tahun 2022. Kita semua tahu, jika Liverpool puasa trofi lagi, Kopites akan dengan mudah mengekspansi Twitter dengan tagar #KloppOut. Sementara United dengan Jose Mourinho-nya bisa saja membantahkan artikel ini seandainya mereka mampu meraih kedigdayaan.
Tapi saya sih tenang saja. Mourinho tidak pernah bertahan lebih dari 4 tahun di klub yang pernah dilatihnya, bukan?


Sumber: http://fandom.id/analisis/opini/2016/08/liverpool-juergen-klopp-sir-alex-ferguson-manchester-united/?relatedposts_hit=1&relatedposts_origin=5951&relatedposts_position=1

Menghibur Duka Pendukung Liverpool

by 08:15

Leicester City menjuarai Premier League dan lagi-lagi Liverpool FC menjadi bahan olokan. Olokan yang sama perihal De Gea yang lahir pada tahun 1990 – tahun yang sama di mana Liverpool memenagkan Division One Cup (bahkan namanya belum Premier League – lalu besar dan kemudian meraih sendiri trofi jawara Liga Inggris.
Ataupun Manchester City yang kini sudah meraih dua trofi Premier League. Sementara itu, fans Liverpool, sebagaimana biasanya, berusaha bersikap wajar meski tentu saja, sakit.
Sebagai fans Liverpool, saya merasa tak selalu bahagia, atau jikalau tidak berlebihan, saya ingin mengatakan mendukung Liverpool bukanlah seperti pengalaman menaiki rollercoaster seperti apa yang dikatakan Anzar.
Mendukung Liverpool bukanlah seperti membaca atau menyaksikan kisah dongeng seperti Leicester dan kisah seperti Cinderella ataupun Charlie and The Chololate Factory. Seorang sederhana yang akhirnya mendapatkan yang ia impikan.
Mendukung Liverpool persis seperti kisah Nick Carraway yang harus menyaksikan seorang Jay Gatsby dan dengan segala ilusinya ingin mendapatkan Daisy dalam The Great Gatsby. Di mana kebahagiaan dan menterengnya kehidupan Jay Gatsby adalah suatu ilusi tentang kemurungannya.
Ataupun mungkin, biar lebih pas, saya akan mengatakannya kisah Liverpool mungkin seperti memoir Orhan Pamuk tentang kotanya yang murung, Istanbul. Kota di mana Merseyside Merah mencapai kebahagiaan terbesarnya.
Mungkin apa yang terjadi di Istanbul pada tahun 2005 tak hanya perihal keajaiban yang terjadi di Ataturk, namun juga perihal kesengsaraan antara sebuah klub dan sebuah kota yang saling bertemu.
Orhan menggambarkan Istanbul sebagai suatu kota yang kini huzun. Huzun sendiri diberikan dua bab khusus di memoirnya, saking pentingnya perihal huzun. Dan huzun pula menimpa sebuah klub Merah Merseyside yang pernah menjuarai Liga Champions di sana.
Kini akan saya jelaskan tentang huzun yang saya pahami dari membaca Istanbul. Dan saya batasi hanya membahas huzun saja, mengingat apa yang dijelaskan Orhan sendiri saya rasa hanya menggambarkan bagaimana huzun yang melanda kotanya.
Huzun merupakan kata serapan dari Arab, yang diambil dari peristiwa di mana Nabi Muhammad Saw. menyebut sebuah tahun di mana ia kehilangan istrinya, Khadijah, dan Abu Thalib: sanatul huzn.
Huzun adalah perihal kemurungan yang mendalam, berkaitan dengan beban spiritual, yang melanda seseorang atau bahkan sekelompok orang. Huzun, dalam pandangan Orhan, disebabkan karena seseorang belum cukup menderita atas hidupnya atau terlalu banyak memegang kebanggaan.
Istanbul digambarkan Orhan sebagai suatu kota yang kelam. Berisi orang-orang murung, dan menangisi kejayaan Kesultanan Usmani yang hancur dan melahirkan suatu negeri yang disebut Republik Turki.
Mereka harus menenggelamkan kejayaan Istanbul di masa Kesultanan Usmani yang digambarkan oleh Orhan: tembok tinggi dan kekuatan militernya yang disegani, negeri nan terpandang pula multikultur (di era Ottoman, bangsa Turki menguasai berbagai bahasa: Inggris, Prancis, Yunani, Italia, Arab, Perancis, dsb), ataupun perihal seni dan tata letak kota yang sungguh mengagumkan.
Dan tentu saja, seisi kota Istanbul bangga dengan itu semua, dan bangga dengan kepemimpinan Usmani yang digambarkan sebagai seorang yang mampu mewujudkan keindahan kota yang luar biasa ini.
Perang dunia, pertama dan kedua, membuat Istanbul miskin, menanggalkan sejumlah kejayaan dan kebanggaan mereka. Kelas menengah harus terima hidup dalam kemiskinan. Perusahaan gulung tikar.
Mereka kemudian berusaha mengikuti zaman dengan mengikuti Barat, yang dipandang memiliki segalanya. Hal ini berimplikasi pada kebingungan masyarakatnya, ingin berpijak kepada barat atau timur, dan mulai hidup dalam chauvinisme semu. Dan bagi Orhan, memandang lukisan Melling tentang Istanbul di masa lampau, membuatnya sedih.
Dan tentu saja, masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan keamanan setelah tentara-tentara Turki kehilangan kegagahannya. Dan bahkan dihina oleh orang-orang Barat seperti Brodsky, yang menyebutkan kota ini sangat kuno dan udik.
Kota Istanbul, harus melupakan semua kebahagiaan yang mereka terima pada masa lampau. Namun melupakan begitu sulit.
Andai warga Istanbul ingin mencari seorang yang senasib dengan dirinya, mereka bisa bertanya dengan saya, seorang yang mencintai Liverpool. Huzun, dalam pandangan saya antara Liverpool FC dan Istanbul serupa, meski tentu saja, saya akan mengatakan bahwa Liverpool tentu saja beruntung tak memiliki kelam yang sedalam Istanbul.
Kelam Liverpool dan Istanbul sama, perihal bagaimana sulitnya mereka mendapatkan identitas kembali sebagai seorang yang dihantui oleh masa kejayaan pada masa lampau dan kebingungan menghadapi perubahan zaman.
Liverpool, sama seperti Istanbul pada era Kesultanan Usmani, adalah suatu klub yang disegani. Mulai dari Bill Shankly hingga Kenny Dalglish, mulai dari Kenny hingga Steven Gerrard, mulai dari Borussia Moenchengladbach hingga AC Milan, mulai dari Roma hingga Istanbul, mereka (fans) memiliki kisah manis yang akan mereka ceritakan kepada anak-cucu mereka.
Namun, di masa setelah berubahnya Division One menjadi Premier League, mereka tak betul-betul mencapai kejayaan dan tak benar-benar bisa bangga dengan klub mereka.
Liverpool bukanlah klub yang dihitung dengan mencapai sebuah trofi. Namun, semua trofi. Mendominasi adalah tanda kejayaan, dan itu adalah satu-satunya jalan untuk klub sebesar Liverpool untuk dihormati.
Maka, saat semua itu tak terjadi, selalu ada wujud kemurungan dalam motto mereka yang paling khas, “next season is ours”. Sementara mereka bingung ingin mencintai klub ini dengan bagaimana.
Apakah dengan ajaran Bill Shankly yang paling fenomenal: beri dukungan ke klubmu dan teriak lebih keras saat timmu bermain buruk? Fans Liverpool, sebagian, sudah cukup muak dengan semua ini.
Atau memaki dan melakukan otokritik terhadap performa klubnya yang buruk? Fans Liverpool, sebagian, tak cukup tega untuk melakukannya.
Ingin berpijak pada masa kini, atau terus membanggakan masa lalu? Fans Liverpool bingung, dan hal ini membuahkan huzun yang dalam bagi fans Liverpool.
Tentu huzun ini tak selalu buruk. Dalam ujung huzun, akan terlahir sebuah optimisme dan diri yang lebih baik.
Huzun membuat Orhan terbiasa memandang suatu pandangan buruk orang lain perihal kotanya menjadi suatu hal yang indah yang bisa dinikmati. Yang kemudian ia persembahkan karya indahnya ini kepada dunia sehingga dunia bisa menikmati Istanbul dari cara pandangnya.
Sementara bagi fans Liverpool, layaknya gambaran Orhan terhadap Istanbul, adalah kemurungan yang membuat fans Liverpool makin lama makin siap menghadapi kehidupan nyata.
Membuat mereka menikmati menit demi menit yang menyebabkan dunia mengagumi kebersamaan mereka dalam lagu “You’ll Never Walk Alone”. Membuat mereka sadar, bahwa mereka belum cukup menderita.
Lagipula, apa yang dinikmati Leicester adalah hasil penderitaan selama beratus tahun menjadi medioker. Begitu pula Manchester City yang menjadi pecundang selama kurang lebih lima puluh tahun.
Ya, kita belum cukup menderita, jadi nikmatilah saja jikalau seseorang bertanya, “Leicester juara, Liverpool kapan?”
Mari berharap, penderitaan kita sudah cukup hingga akhir musim ini. Atau kalau tidak, saya rasa fans The Foxes seluruh regional di Indonesia akan siap menerima diri Anda menjadi bagian dari mereka.
Saya akan tetap menjadi Kopites dan mensyukuri betul keberhasilan tim melangkah ke final Europa League setelah mampu menang 3-0 atas Villareal di Anfield (6/5). Bukankah itu secercah harapan untuk menatap musim depan?
Kedatangan Juergen Klopp dengan passion-nya yang begitu kuat dan menular pada diri kita adalah sebuah anugerah yang menerbitkan optimisme dan bisa menjadikan diri kita lebih baik. Klopp bisa jadi adalah jawaban dari segala penderitaan yang kita alami selama ini. Dia adalah optimisme di ujung Huzun.



Sumber: http://fandom.id/feature/kultur/2016/05/menghibur-duka-pendukung-liverpool/

Sudah Waktunya Liverpool Melupakan Masa Lalu

by 08:10


Jurgen Klopp paham betul ke mana semua ekspektasi ini bermuara. Dalam lima laga terakhir, Liverpool tak terkalahkan. Terus mencetak gol dan menyuguhkan permainan indah.
Maka, sebelum ketololan untuk berekspektasi terlampau tinggi dan kemudian jatuh sekeras-kerasnya karena gagal mengulang masa lampau, ia mewanti-wanti penggemarnya sendiri.
Ia, kepada Liverpool Echo, kemudian mengatakan kalimat ini secara tegas, “Tidak ada yang boleh membandingkan masa kini dengan masa lalu (yang indah) karena masa tersebut jelas memiliki waktu yang berbeda, mimpi yang berbeda, dan liga yang berbeda.”
Pernyataan tersebut diutarakan pada konferensi pers sebelum Liverpool menjamu Manchester United di Anfield.
Uniknya, Manchester United juga merupakan klub yang memiliki dagangan yang sama terhadap fansnya: sejarah. Memiliki hantu dari masa lampau yang akan dan selamanya abadi. Di Liverpool, Sang Abadi itu bernama Bill Shankly, sementara di United, ia adalah Yang Mulia, Sir Alex Ferguson.
Bedanya, United sudah menjadi merek global karena menjual sejarah di waktu yang tepat – di masa Liga Primer Inggris juga telah besar, sementara Liverpool terasa lebih retro karena selalu bercerita tentang kesuksesan di era 70-an hingga 80-an.
Jurgen Klopp kiranya paham bahwa penggemar Liverpool adalah gambaran dari kalimat menohok Milan Kundera yang saya temukan di awal halaman Melihat Api Bekerja-nya Aan Mansyur. Begini bunyinya:
“Orang-orang berkata bahwa mereka ingin menciptakan masa depan yang lebih baik. Itu tidak benar. Masa depan adalah kekosongan yang tak memikat bagi siapa pun.”
Menjadi penggemar Liverpool, adalah pekerjaan untuk mengakrabkan diri dan berteman dengan masa lampau. Chants seperti “Fields of Anfield Road,” yang menyebutkan nama-nama lama seperti Kenny Dalglish dan Steve Heighway yang merupakan bagian dari kegilaan Liverpool di era 80-an, terus dinyanyikan hingga saat ini. Beberapa laga ada yang terkenang abadi.
Kisah-kisah seperti Malam Ajaib Istanbul pada tahun 2005, mempermalukan Real Madrid di Anfield dengan skor 4-1, juga tak lupa kemenangan atas United di Old Trafford dengan skor 4-1 di musim 2008/2009.
Kemenangan atas United yang lekat dengan adegan Steven Gerrard mencium kamera adalah dongeng yang akan terus diceritakan dari generasi ke generasi. Dan dibungkus dengan penghayatan yang kuat seakan hal tersebut seperti baru terjadi kemarin. Semua kisah-kisah itu, terekam dan tak pernah mati.
Sayangnya, masa lampau adalah sesuatu yang terasa dekat, namun juga sangat jauh. Sementara The Reds terus mengenang kisah-kisah seperti itu, mereka terus dilampaui oleh rival-rival mereka.
Pun dengan urusan trofi. Catatan 18 trofi liga yang dikumpulkan Liverpool membuat fans mereka sedikit congkak. Memang, catatan ini membuat Merseyside Merah menjadi pengumpul terbanyak. Sebelum akhirnya disamai oleh United pada tahun 2010.
Tiga tahun kemudian, United melampaui torehan tersebut dengan 20 kali jawara liga. Pun begitu dengan Chelsea yang, sering mereka hina sebagai klub instan, namun pada faktanya mereka lebih baik dalam dua dekade jika urusannya adalah gelimang trofi.
Sementara penggemar Liverpool terus bertanya kenapa kita tak bisa mengulang masa lampau? Manchester City, juga Tottenham Hotspurs kemudian hadir menjadi raksasa baru di tanah Inggris dan mempersulit mimpi untuk meraih trofi Liga Primer Inggris.
Jurgen kemudian melanjutkan, “Itulah faktanya. Banyak tim bagus bertebaran dan masa lampau takkan kembali hanya dengan mengharapkannya.”
Tegas bagi Jurgen bahwa ia tak ingin buru-buru disandingkan dengan nama besar seperti Bill Shankly. Di suatu masa, Brendan Rodgers, pernah secara prematur disandingkan dengan Bill Shankly. Masa di mana Liverpool terlalu akrab dengan frasa “hampir juara”.
Sebelum terjadi kesalahan yang sama, mengenang sejarah beserta komparasi skuat yang dulu dan sekarang, ia sudah menyatakan tegas enggan membawa kisah masa lampau.
Dalam sepak bola Inggris yang penuh tekanan karena tiap laga terasa seperti final, Jurgen menyadari hal-hal macam itu akan menjadi bumerang. Tak hanya bagi dirinya, namun juga anak asuhnya.
Jurgen tentu bukan menampik dan mengajak kita melupakan sejarah. Ia pernah menolak untuk diwawancarai jurnalis The Sun, yang itu berarti, ia paham betul seberapa kejam perlakuan media tersebut terhadap Liverpool.
Namun, adalah yang ia sadari, hari kemarin adalah hal yang membentuk manusia hari ini. Dan cara manusia memandang hari esok, adalah hal yang akan menentukan apakah mereka akan menyesali atau mesyukuri apa yang terjadi di hari kemarin.
Bagi Jurgen, ia ingin banyak hari kemarin yang indah dan dikenang setelah ia pergi dari klub ini. Ia ingin menciptakan sejarah, dan baginya, itu dimula dengan melupakan pencapaian klub di masa lampau dan fokus dengan hari ini.
Narasi-narasi ini jelas tampak dalam semangat manajer asal Jerman tersebut. Pada hari pertamanya melatih The Kop, saat ia meminta penggemarnya untuk berubah dari “peragu” menjadi “yang percaya”, sudah jelas apa yang ia maksud: ia menginginkan warisannya sendiri.
Warisan yang bisa ia bentuk tanpa harus dibandingkan dengan kisah masa lampau. Jurgen Klopp ingin dikenang sebagai Jurgen Klopp di Liverpool.
Jurgen Klopp yang berjingkrak-jingkrak di pinggir lapangan. Jurgen Klopp yang sudi ke tengah lapangan setelah laga usai untuk memeluk pemainnya satu per satu. Jurgen Klopp yang akan melakukan wawancara yang, sesekali, terasa mengocok perut.
Ia ingin dikenal sebagai dirinya sendiri, manajer yang sering tertawa namun dihormati karena kejeniusannya. Bukan dikenal sebagai “titisan Bill Shankly” yang teramat dicinta Kopites.
Memang, jalan untuk membangun Warisan Jurgen jelas masih panjang. Dibutuhkan kemampuan mengontrol ekspektasi dan menahan diri untuk melakukan komparasi dengan pendahulunya ketika tengah berada dalam periode terbaik. Sikap yang dibutuhkan adalah terus optimis, dan iklas memberikan dukungan.
Terjaga di paruh akhir dini hari untuk menyaksikan Liverpool bermain imbang melawan United, sudah pasti terasa menyebalkan, bahkan membuat frustasi.
Peluang-peluang yang patah karena David De Gea, wasit yang tak tegas, hingga Daniel Sturridge yang terkunci di pertahanan United terasa menyesakkan. Membuat tren positif Liverpool yang produktif mencetak gol seakan tak ada artinya.
Namun, dari rasa frustasi tersebut kita bisa menyadari bahwa yang terpenting dari sepak bola adalah hari ini, bukan kemarin. Karena hari ini akan menentukan esok, sementara hari-hari kemarin bisa saja terlupakan karena hari ini.


Sumber: http://fandom.id/analisis/opini/2016/10/sudah-waktunya-liverpool-melupakan-masa-lalu/
Powered by Blogger.