Dunia permusikan dalam negeri tengah mengalami kelesuan, begitu komentar banyak orang. Sangat sulit menemukan pengganti maestro sekelas Chrisye, atau musisi yang kemampuannya mendekati sang legenda Iwan Fals. Bahkan tidak jarang musik dalam negeri menjadi bahan bullying, wajar bagi saya, mungkin mereka haus dengan musik-musik yang bisa memanjakan telinga dan jiwa mereka. Seperti saya yang pengagum berat Iwan Fals, sampai saat ini belum menemukan musisi dengan irama dan syair sedalam lagu-lagu Iwan Fals.
Di tengah bullying masyarakat terhadap musik dalam negeri saat ini, baik itu cemen, dangkal, gak bermutu, kacangan, dan kata cacian lainnya, suatu malam saya tidak sengaja mendengar alunan musik yang begitu dalam. Di sebuah warung kopi, saat tengah sendirian merangkai kata-kata untuk menyerang birokrat fasis sembari menikmati kopi pahit yang sudah mulai dingin, alunan lagu itu langsung masuk ke relung-relung jiwa yang jarang tersentuh. Membangkitkan kembali rasa melankolis yang sudah lama mati dalam diri saya. Langsung saja saya tanyakan judul dan penyanyinya kepada penjaga warung kopi, ternyata Banda Neira, empunya lagu dengan judul “Sampai Jadi Debu” itu. Masih agak asing namanya bagi saya.
Tapi terlepas dari keasingan tersebut, sebuah optimisme terhadap industri musik kembali tumbuh. Ternyata masih ada musik-musik berkualitas karya anak bangsa, alunan nada yang sederhana. Namun alunan sederhana itulah membuat saya langsung jatuh cinta. Tidak hanya itu, syair yang disenandungkan juga indah nan puitis, serta dalam dan penuh makna. Tidak seperti musik-musik instan yang booming lewat YouTube, populer hanya karena liriknya yang vulgar bahkan terkesan tidak senonoh, sangat tidak mendidik, begitu dosen PKN saya berpendapat. Yang membuat saya lebih senang, Banda Neira merupakan grup musik indie, bukan grup musik yang dilahirkan dari label musik kapitalis.
Terlepas dari makna sebenarnya, yang lebih paham tentu Banda Neira sendiri, namun sebagai konsumen tentu saya boleh berkomentar dan memaknainya sesuai dengan subyektivitas saya. Bagi saya lagu “Sampai Jadi Debu” bukan sekadar lagu romance yang berisi kisah percintaan antara dua sejoli, melainkan sebuah cerita romantis, perpaduan antara perlawanan dan kesetiaan. Jauh lebih dalam daripada lagu-lagu dalam negeri yang sempat populer seperti lagu milik Noah, Ungu, Kangen, apalagi Younglex. Eh, sek, Younglex itu siapa ya? A…sudahlah!
Kembali ke lagu “Sampai Jadi Debu”, di awal lagu kita akan dimanjakan dengan alunan gitar akustik dan piano yang begitu menenangkan. Cukup panjang pengantar instrumental yang dimainkan, hampir tiga menit, meski begitu sama sekali tidak membuat saya bosan mendengarnya. Alunannya justru membuat saya semakin terlena, melodi yang dihasilkan seolah telah menyatu dengan jiwa saya yang kering karena terlalu lama menahan dahaga akan nada-nada yang bukan sekadar nada. Nada yang dimainkan Banda Neira seakan memiliki ruh, masuk ke dalam sudut-sudut jiwa terdalam melalui alam bawah sadar siapapun yang mendengarnya.
Memasuki menit ke 2.50, kita akan dimanjakan dengan suara Rara yang begitu syahdu nan renyah. Bait pertama sudah begitu dalam, “Badai Tuan telah berlalu; Salahkah ku menuntut mesra”. Menggambarkan sebuah akhir dari perjuangan, sebuah perlawanan terhadap berbagai masalah dan rintangan yang digambarkan dengan badai. Perlawanan di sini saya artikan luas, bisa perlawanan terhadap penguasa yang fasis, birokrat yang sewenang-wenang, sistem yang menindas, atau yang paling sulit dilawan, nafsu diri sendiri.
Bait-bait perlawanan kembali didengungkan, kali ini dengan suara Ananda Badudu yang dalam lagi menenangkan setiap hati yang gelisah lewat bait “Tiap taufan menyerang; Kau di sampingku; Kau aman ada bersamaku”. Badai mungkin telah berlalu, namun tidak menutup kemungkinan taufan akan melanda, karena itu kebersamaan tetap harus di jaga. Mendengar syair ini saya teringat dengan masyarakat Indonesia yang begitu majemuk, beragam suku, agama, ras, golongan, dan budaya. Keragaman ini memiliki kelemahan tersendiri, yaitu rawan untuk dipecah belah dengan mengadu domba antar golongan. Ini yang sedang dihadapi bangsa ini, karena itu kebersamaan dan persatuan menjadi hal yang wajib untuk selalu dipegang. Menjadi pribadi yang tidak mutungan juga tidak kalah penting, dengan begitu kita tidak akan mudah terprovokasi seperti kaum pentol korek, gesek sedikit langsung terbakar.
Bait “Sampai kita tua; Sampai jadi debu; Ku di liang yang satu; Ku di sebelahmu” mengakhiri keindahan lagu ini. Sebuah akhir yang menggambarkan kesetiaan abadi. Bukan sekadar janji gombal ala cinta monyet ABG, “akan setia sampai kapanpun, saat suka maupun duka”. Untaian kata yang dirajut Banda Neira terasa begitu tulus dan suci, sangat apik. Dari sudut pandang romantik bait ini mengajarkan bagaimana kemesraan dan kesetiaan yang hakiki. Membuat siapapun yang mendengarnya selalu memegang teguh kesetiaan tanpa ingin tahu bagaimana rasanya mendua.
Dari sudut pandang saya, kesetiaan yang terkandung dalam sulaman bait itu lebih dari sekadar kesetiaan antara dua sejoli yang tengah memadu kasih. Syair “Sampai Jadi Debu” mengajarkan saya untuk tetap setia pada proses, yaitu perlawanan terhadap segala bentuk kemungkaran. Setia untuk menentang badai, menghadang taufan, melenyapkan bersama setiap penindasan, meski risikonya diri sendiri yang akan lenyap. Setia untuk meniti jalan jihad untuk melawan kezaliman, membela kebenaran dan keadilan, karena itulah jihad yang hakiki. Tidak peduli Satpol PP menggaruk, bahkan tentara menghadang. Karena tidak ada hal yang lebih indah dan romantis selain mati bersama saat berjihad melawan penindasan dan kesewenang-wenangan.
Lagu ini memang sudah cukup lama, rilis pada awal tahun 2016, meski begitu keindahannya tidak akan pudar terkikis waktu. Saya memang cukup terlambat mengenal Banda Neira, bahkan mengenalnya setelah bubar. Tapi tidak apa, agak kecewa memang mendengar kenyataan itu. Namun setidaknya kini playlist lagu saya telah bertambah dengan lagu-lagu Banda Neira.
Sumber: https://www.minumkopi.com/sampai-jadi-debu-romantisme-perlawanan-dan-kesetiaan/